สฟ๐—”๐—ฏ๐—ฑ ๐—ฎ๐—น-๐—ฆ๐—ต๐—ฎ๐—บ๐—ฎ๐—ฑ ๐—ฎ๐—น-๐—ฃ๐—ฎ๐—น๐—ถ๐—บ๐—ฏ๐—ฎ๐—ป๐—ด๐—ถ, ๐—ž๐—ฎ๐˜‚๐—บ ๐—ฆ๐—ฎ๐—ป๐˜๐—ฟ๐—ถ, ๐—ฑ๐—ฎ๐—ป ๐—”๐—ธ๐—ฎ๐—ฟ ๐—ก๐—ฎ๐˜€๐—ถ๐—ผ๐—ป๐—ฎ๐—น๐—ถ๐˜€๐—บ๐—ฒ ๐—ฅ๐—ฒ๐—น๐—ถ๐—ด๐—ถ๐˜‚๐˜€ ๐—ฑ๐—ถ ๐—ก๐˜‚๐˜€๐—ฎ๐—ป๐˜๐—ฎ๐—ฟ๐—ฎ



Perlawanan terhadap kolonialisme di Nusantara tidak hanya dibentuk oleh senjata, tetapi juga oleh teks dan ide. Di antara para ulama yang menyalakan semangat jihad dengan kekuatan pena adalah สฟAbd al-Shamad al-Palimbangi, seorang ulama sufi dan intelektual dari kalangan kaum santri. Melalui karyanya yang berjudul “Nashihatul Muslimin wa Tadzkirotul Mu’minin fi Fadhailil Jihadi wa Karamatil Mujahidin fi Sabilillah,” ia menegaskan bahwa jihad melawan penjajah kafir bukan semata persoalan politik, melainkan perintah agama dan jalan menuju kemuliaan akhirat.

Sebagai bagian dari jaringan santri yang menguasai ilmu fiqh, tasawuf, dan tafsir, al-Palimbangi menulis dalam konteks abad ke-18, saat kolonialisme Barat mulai menancapkan kekuasaan di wilayah-wilayah Islam Nusantara. Ia memadukan tasawuf (spiritualitas batin) dengan aktivisme sosial keagamaan, menjadikan jihad bukan sekadar perang fisik, melainkan perjuangan spiritual yang menegakkan martabat Islam.

Buku "Nashihatul Muslimin wa Tadzkirotul Mu’minin fi Fadhailil Jihadi wa Karamatil Mujahidin fi Sabilillah" adalah teks yang menyeru umat Islam agar melawan penjajahan kolonialis Belanda sebagai bentuk ibadah fi sabilillah. Dalam teks itu, jihad ditempatkan sejajar dengan rukun ibadah lainnya: ia membawa pahala, menjanjikan surga bagi syuhada, dan menjadikan kematian di medan perang sebagai bentuk tertinggi pengabdian kepada Tuhan.

Namun pengaruh terbesarnya muncul bukan hanya dalam tataran teologis, melainkan dalam praksis sosial dan politik: gagasan jihad yang dirumuskan al-Palimbangi menjadi fondasi ideologis bagi gerakan perlawanan Islam di Nusantara, terutama di Aceh.

Dari Palembang ke Aceh: Genealogi Santri dan Lahirnya Hikayat Prang Sabi

Gagasan al-Palimbangi mengilhami Teungku Syeikh Saman Tiro (1836–1891) — tokoh santri Aceh — untuk menulis teks yang lebih populer dan komunikatif bagi masyarakat awam: Hikayat Prang Sabi. Karya ini kemudian menjadi naskah monumental dalam sejarah jihad di Aceh dan salah satu karya paling berpengaruh dalam sejarah perlawanan Islam terhadap kolonialisme.

Hikayat Prang Sabi yang dikarang oleh Teuku Tjik di Tiro—lahir dari lingkungan epistemik kaum santri—memainkan fungsi sentral dalam Perang Aceh bukan sebagai teks sastra pasif, tetapi sebagai perangkat mobilisasi ideologis. Hikayat ini telah dipopulerkan di Aceh sekitar tahun 1881, dan dibacakan berulang-ulang oleh Teungku Tiro serta ulama Aceh di tengah masyarakat, terutama dalam meunasah-meunasah, “untuk menggugah semangat keagamaan mereka ber ‘Prang Sabi’ melawan si ‘kafir’ kolonialist Belanda.”

Pembacaan publik itu menjadi praktik performatif dan populer, terutama di kalangan pemuda-pemudi Aceh. Dengan demikian, Hikayat Prang Sabi berperan sebagai propaganda kultural-religius yang masif dan sistematis.

Lebih jauh, secara kronologis dan intelektual, Hikayat Prang Sabi ini jauh mendahului karya-karya nasionalisme modern Indonesia seperti buku Tan Malaka, Naar de Republik Indonesiรซ yang baru ditulis pada dekade 1920-an. Fakta ini penting, karena menunjukkan bahwa nasionalisme religius-santri telah eksis lebih dari empat dekade lebih awal daripada nasionalisme komunis Hindia-Belanda.

Dengan demikian, bentuk nasionalisme yang lahir dari kalangan santri—berbasis jihad, keimanan, dan solidaritas umat—lebih tua secara kronologis dan konseptual dibandingkan nasionalisme sekuler atau komunis yang berkembang kemudian. Perlawanan santri ini bukan hasil asimilasi ideologi Barat, tetapi lahir dari tradisi keagamaan Islam lokal yang menggabungkan teks, ritual, dan semangat jihad.

Teologi Jihad sebagai Nasionalisme Dini

Daya persuasif Hikayat Prang Sabi bekerja pada dua lapis: afeksi dan teologi. Ia tidak hanya membangkitkan emosi perlawanan, tetapi juga memberi landasan eskatologis yang memindahkan perang dari ranah politik ke ranah ibadah.

Perang Aceh dibingkai sebagai “perang suci” (prang sabi) yang dijanjikan pahala surga. Narasi hikayat dipenuhi ayat seperti “Innallaha isytara…” yang menggambarkan Allah membeli jiwa orang beriman dengan surga sebagai balasan. Maka, mati melawan Belanda berarti syahid, dan syahid berarti surga yang dijanjikan. Perang melawan penjajah pun tidak lagi sekadar strategi politik, melainkan ibadah mutlak.

Selain itu, hikayat ini juga mentranslasi musuh kitabiah menjadi musuh aktual. Istilah “Yahudi/musuh” dalam teks klasik diadaptasi oleh penyair Kutarakarang untuk menunjuk langsung kepada Belanda sebagai “kafir” kolonialis. Adaptasi ini “tidak menimbulkan masalah referensial,” karena publik memerlukan simbol linguistik yang jelas untuk merepresentasikan kegeraman terhadap penjajah yang merebut tanah dan marwah umat.

Efek sosialnya terukur: setelah hikayat dibacakan, “perang suci menjadi perang rakyat.” Dana perang dikumpulkan lewat “hak sabil,” partisipasi masyarakat meningkat, dan para pejuang diberi legitimasi religius sebagai syuhada. Hikayat tidak hanya menciptakan semangat, tetapi juga organisasi, logistik, dan kesediaan untuk mati.

Keberhasilan ini bertumpu pada infrastruktur epistemik kaum santri: meunasah, otoritas syekh, bahasa religius, dan tradisi oral yang dipercaya masyarakat. Karena pesan-pesan hikayat berjalan di atas “akal tradisional” yang sudah terinternalisasi, ia diterima tanpa perlu rasionalisasi modern. Dengan demikian, Hikayat Prang Sabi menjadi alat mobilisasi religius paling efektif sebelum munculnya ide-ide nasionalisme politik modern.

Kronologi dan Signifikansi Ideologis

Jika dilihat secara kronologis, rantai intelektual kaum santri membentuk garis sejarah yang jelas:

สฟAbd al-Shamad al-Palimbangi menulis Nashihatul Muslimin pada abad ke-18 — saat gagasan jihad Islam melawan kolonialisme masih dalam format normatif.

Teungku Saman Tiro dan Teuku Tjik di Tiro mempraktikkan ide itu secara sosial melalui Hikayat Prang Sabi pada tahun 1881 — menjadikannya doktrin jihad yang masif dan operasional.

Tan Malaka baru menulis Naar de Republik Indonesiรซ pada 1925, hampir setengah abad kemudian, dengan paradigma sekuler-Marxis yang berorientasi pada republik sosialistis.

Kronologi ini tidak hanya menunjukkan urutan waktu, tetapi juga perbedaan sumber epistemik dan orientasi ideologis. Kaum santri mendasarkan perjuangannya pada teologi jihad dan solidaritas ummah, sementara kaum komunis Hindia-Belanda berpijak pada materialisme historis dan kesadaran kelas.

Maka, secara faktual dan ideologis, nasionalisme religius-santri di Nusantara lahir lebih awal daripada nasionalisme komunis. Ia merupakan bentuk nasionalisme dini (proto-nationalism) yang tumbuh dari iman, bukan dari ideologi impor.

Kesimpulan: Nasionalisme Santri Mendahului Nasionalisme Komunis

Kedua karya kaum santri — Nashihatul Muslimin karya สฟAbd al-Shamad al-Palimbangi dan Hikayat Prang Sabi karya Teuku Tjik di Tiro — bukan hanya teks keagamaan, melainkan dokumen politik awal yang menandai munculnya nasionalisme Islam di Nusantara. Keduanya mendahului secara kronologis dan konseptual karya Naar de Republik Indonesiรซ (1920-an), yang kemudian dianggap tonggak nasionalisme komunis Hindia-Belanda.

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa nasionalisme kaum santri dalam melawan kolonialisme lebih tua daripada nasionalisme kaum komunis. Nasionalisme santri berakar pada iman dan jihad, bukan pada ide kelas. Ia lahir dari surau dan meunasah, bukan dari percetakan Eropa. Ia membakar semangat umat bukan dengan teori, melainkan dengan janji Tuhan dan kesucian pengorbanan.

Dalam sejarah Indonesia, karya-karya santri seperti Nashihatul Muslimin dan Hikayat Prang Sabi menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan dimulai dari bilik pesantren dan mimbar meunasah, jauh sebelum manifesto republik ditulis dalam buku politik. Dengan kata lain, pena santri telah lebih dulu menulis kemerdekaan dalam bahasa jihad, sebelum kaum komunis menuliskannya dalam bahasa republik.

0 Komentar