Saya mengenal sosok Kyai Asy’ari sejak orang tua saya sering mengajak ziarah ke makamnya saat ritual Syawalan. Makamnya terletak di bukit Proto-Wetan Kaliwungu, bersebelahan dengan makam Pangeran Mandurorejo. Nama besarnya selalu melekat bagi masyarakat Kaliwungu Kendal dan sekitarnya. Konon, ia adalah ulama yang menjadi guru bagi ulama-ulama Jawa di era sesudahnya, sebab itulah ia disebut Kyai Guru atau Gurunya para Kyai.
Namun, apa yang mendorong saya untuk menelusuri lebih detail tentang sosok Kyai Asy’ari ini adalah tumpukan berkas kuno yang berada di perpustakaan Leiden Belanda, dengan nomor Kode Or. 7931 - Or. 7939. Ini bukan kode rahasia, tetapi kode untuk mengakses manuskrip-manuskrip dan catatan-catatan tentang Ulama-ulama Nusantara dan kondisi pesantren di Jawa pada abad ke-19 hingga abad ke-20 milik Christian Snouck Hurgronje (1857–1936).
Snouck adalah seorang sarjana Belanda yang juga menjadi penasehat Kerajaan Belanda untuk urusan pribumi. Selama menjalankan tugas, ia pernah mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar dan berhasil mengumpulkan banyak dokumen termasuk tulisan Kyai As’ari, Kaliwungu. Di antara orang yang pernah mengakses dan mengkaji catatan-catatan Snouck ini adalah Michael Francis Laffan, sejarawan Universitas Princeton Amerika.
Dari hasil risetnya, Laffan menulis; Asy’ari hidup di Kaliwungu Kendal sekitar akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19 (atau pertengahan tahun 1700-an sampai awal tahun 1800-an). Sebelum menetap di Kaliwungu, ia sempat menimba ilmu di Terboyo Semarang selama beberapa tahun. Setelah cukup dengan ilmu tingkat dasar, Asy’ari kemudian melanjutkan petualangannya mencari ilmu agama di Aceh selama tujuh tahun (Laffan, 2011).
Sekitar tahun 1700-an akhir, Asy’ari menunaikan ibadah haji sembari bermukim di Makkah al-Mukarromah selama beberapa tahun. Dalam pergulatannya menempuh pendidikan di Makkah, ia memiliki banyak kawan dari berbagai negara. Michael Laffan mencatat salah satu kolega yang menjadi saingan dalam menulis kitab adalah Syech Dawud al-Fathani (1720-1879), ulama yang masyhur dan berpengaruh dari Thailand Selatan.
Guru-guru Asy’ari terdiri dari ulama-ulama Jawi dan Hijaz. Misalnya ‘Abd al-Samad al-Falimbani (1704-1789), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), Syech Muhammad As’ad al-Madani, dll. Selain mendalami ilmu-ilmu agama, ia juga berbaiat Thariqah Sattariyah kepada gurunya Syech Muhamamd As’ad bin Syech Said Thahir, Madinah. Sanad thariqah Sattariyah yang ia miliki tersambung kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Sekitar pertengahan menjelang akhir abad ke-19 atau tahun 1700-an, Asy’ari kemudian kembali ke Jawa menemui guru pertamanya di Terboyo Semarang. Atas saran gurunya itulah, ia menetap di Kaliwungu dan menikah dengan putri kerabat penghulu Kendal. Sebagai ulama yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas, ia dititipi adik istrinya sekaligus santri pertamanya yang kelak menjadi tokoh revolusioner, Ahmad Rifa’i (1786-1870).
Di Kaliwungu, Asy’ari mulai mengajarkan ilmunya kepada masyarakat sekitar. Salah satu karya yang ia tulis berjudul: Masa’ila (pertanyaan-pertanyaan), yang berisi tentang metode praktis belajar Islam dengan sistem tanya jawab. Kitab tersebut menjadi kurikulum pertama yang diajarkan Asy’ari kepada santri-santrinya agar mudah memahami Islam. Isi dari kitab Masa’ila ini kelak menjadi tradisi as’ilahan (tany-jawab) di madrasah diniyah saat acara imtihan di Kaliwungu.
Seiring berjalannya waktu, kediaman Asy’ari banyak didatangi masyarakat dari berbagai daerah dan menitipkan anaknya untuk belajar tentang Islam. Masyarakat Kaliwungu kemudian memanggilnya dengan sebutan Kyai Guru, sementara di sekitar tempat tinggalnya disebut ‘pesantren.’ Selain belajar, beberapa santri juga baiat Thariqah Sattariyah padanya. Ia telah diangkat menjadi mursyid sekaligus khalifah Thariqah Sattariyah di Jawa pasca Syech Abdul Muhyi Pamijahan (1640-1715).
Selain sebagai pengajar ilmu agama Islam, Mursyid dan Khalifah Thariqah Sattariyah, Kyai Guru As’ari juga menjadi salah tokoh yang mendorong meletusnya Perang Jawa yang dipimpin Diponegoro pada tahun 1825-1830. Sekitar awal abad ke-19 atau tahun 1800-an, Pangeran Diponegoro (Raden Mas Ontowiryo) pernah mengunjungi kediaman Kyai Guru Asy’ari untuk meminta restu dan berbaiat Tariqah Syattariyah sebelum memulai perang.
Kunjungan Pangeran Diponegoro ini diketahui santri-santri Kyai Guru Asy’ari. Karena terkesan dengan sosok Diponegoro, salah seorang santri Kyai Guru yang bernama Haji Musa, kemudian memberi nama putra ketiganya Abdullah Wiryo Dikromo. Sebuah nama tambahan untuk mengenang Raden Mas Ontowiryo. Kelak, Abdullah Wiryo Dikromo memiliki putra bernama Ahmad Rukyat, pengasuh pondok pesantren Kauman Kaliwungu.
Wallahu A'lam...
0 Komentar