Ilmu Ushūl ad-Dīn adalah ilmu Qur’ani

Al-Imam Fakhruddin al-Razi berkata:

واعلم أن كثيرا من الفقهاء يقولون إنه ليس في القرآن العلوم التي يبحث عنها المتكلمون، بل ليس فيه إلا ما يتعلق بالأحكام والفقه، وذلك غفلة عظيمة لأنه ليس في القرآن سورة طويلة منفردة بذكر الأحكام وفيه سور كثيرة خصوصا المكيات ليس فيها إلا ذكر دلائل التوحيد والنبوة والبعث والقيامة وكل ذلك من علوم الأصوليين، ومن تأمل علم أنه ليس في يد علماء الأصول إلا تفصيل ما اشتمل القرآن عليه على سبيل الإجمال.

"Dan ketahuilah bahwa banyak dari kalangan ahli fikih mengatakan bahwa dalam Al-Qur'an tidak terdapat ilmu-ilmu yang dibahas oleh para ahli kalam (teolog), bahkan mereka mengatakan bahwa di sana tidak ada selain hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan fikih. Demikian itu merupakan sebuah kelalaian yang besar, karena tidak ada satu surat pun dalam Al-Qur’an yang panjang dan khusus membahas hukum-hukum fikih saja. Padahal, ada banyak surat—terutama yang makkiyah—yang tidak berisi selain penjelasan tentang dalil-dalil tauhid, kenabian, hari kebangkitan, dan hari kiamat, yang semuanya termasuk dalam ilmu ushuluddin (ilmu kalam/teologi). Sesiapa yang merenung (mendalami), maka akan mengetahui bahwa apa yang dimiliki oleh para ahli ushul (teologi Islam) tidak lain hanyalah perincian dari apa yang telah terkandung dalam Al-Qur’an secara global."

Al-Imam Abul Fadhl al-Mursi berkata:

اعتنى الاصوليون بما فِي القُرْآنِ مِنَ الأَدِلَّةِ العَقْلِيَّةِ وَالشَّوَاهِدِ الأَصْلِيَّةِ وَالنَّظَرِيَّةِ ، مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ لَوْ كَانَ فيهما ءَالِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَاً ﴾ [الأنبياء: ۲۲ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْآيَاتِ الكَثِيرَةِ، فَاسْتَبْبَطُوا مِنْهُ أَدِلَّةً عَلَى وَحْدَانِيَّةِ اللهِ ، وَوُجُودِهِ ، وَبَقَائِهِ ، وَقِدَمِهِ ، وَقُدْرَتِهِ ، وَعِلْمِهِ، وَتَنْزِيهِهِ عَمَّا لَا يَلِيقُ بِهِ ، وَسَمَّوْا هَذَا العِلْمَ بِـ أُصُولِ الدِّينِ .

Para ahli ushul (teologi Islam) sangat memperhatikan dalil-dalil rasional, bukti-bukti utama, dan argumentasi-argumentasi teoritis yang terdapat dalam Al-Qur'an, seperti firman Allah Ta'ala:
“Sekiranya pada keduanya (langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa.” (QS. Al-Anbiya: 22),
dan ayat-ayat lain yang sangat banyak.

Mereka menyimpulkan darinya dalil-dalil tentang keesaan Allah, keberadaan-Nya, keabadian-Nya, sifat azali-Nya, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, penyucian-Nya dari segala yang tidak layak bagi-Nya.
Mereka menamakan ilmu ini dengan “Ushūl ad-Dīn” (pokok-pokok agama/teologi).

وَقَالَ الشَّيْخُ بَدْرُ الدِّينِ الزركشي ( ت ٧٩٤ هـ ) : «اعْلَمْ أَنَّ الْقُرْآنَ الْعَظِيمَ قَدِ اشْتَمَلَ عَلَى جَمِيعِ أَنْوَاعِ البَرَاهِينِ وَالأَدِلَّةِ ، وَمَا مِنْ بُرْهَانٍ وَدَلَالَةٍ وَتَقْسِيمِ وَتَحْدِيدِ شَيْءٍ مِنْ كُلِّيَّاتِ المَعْلُومَاتِ العَقْلِيَّةِ وَالسَّمْعِيَّةِ إِلَّا وَكِتَابُ اللَّهِ تَعَالَى قَدْ نَطَقَ بِهِ ، لَكِنْ أَوْرَدَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى عَادَةِ العَرَبِ ، دُونَ دَقَائِقِ طُرُقِ أَحْكَامِ المُتَكَلِّمِينَ (٢) . 

Syekh Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) berkata:

“Ketahuilah bahwa Al-Qur’an yang agung mencakup seluruh jenis bukti dan dalil, dan tidak ada satu pun bentuk argumen, indikasi, klasifikasi, ataupun definisi dari seluruh pengetahuan rasional maupun tekstual, kecuali semuanya telah disebutkan dalam Kitab Allah Ta’ala. Akan tetapi, Allah menyampaikannya sesuai dengan kebiasaan gaya bahasa Arab, tanpa menelusuri rincian teknis seperti yang dilakukan para ahli kalam.”

وَقَالَ أَيْضًا : كُلُّ مَنْ كَانَ حَظِّهُ مِنَ العُلُومِ أَوْفَرَ كَانَ نَصِيبُهُ مِنْ عِلْمِ القُرْآنِ أَكْثَرَ ، وَلِذَلِكَ إِذَا ذَكَرَ تَعَالَى حُجَّةً عَلَى رُبُوبِيَّتِهِ وَوَحْدَانِيَّتِهِ أَتْبَعَهَا مَرَّةً بِإِضَافَتِهِ إِلَى أُولِي العَقْلِ ، وَمَرَّةً إِلَى السَّامِعِينَ ، وَمَرَّةً إِلَى المُتَفَكِّرِينَ ، وَمَرَّةً إِلَى المُتَذَكِّرِينَ ؛ تَنْبِيهَا عَلَى أَنَّ بِكُلِّ قُوَّةٍ مِنْ هَذِهِ القُوَى يُمْكِنُ إِدْرَاكُ حَقِيقَةٍ مِنْهَا ، وَذَلِكَ نَحْو قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ ﴾ [الرعد: ٤] وَغَيْرِهَا مِنَ الآيَاتِ ، وَاعْلَمْ أَنَّهُ قَدْ يَظْهَرُ مِنْهُ بِدَقِيقِ الفِكْرِ اسْتِنْبَاطُ البَرَاهِينِ العَقْلِيَّةِ عَلَى طُرُقِ المُتَكَلِّمِينَ ، فَمِنْ ذَلِكَ الاسْتِدْلَالُ عَلَى حُدُوثِ العَالَمِ بِتَغَيَّرِ الصَّفَاتِ عَلَيْهِ وَانْتِقَالِهِ مِنْ حَالٍ إِلَى حَالٍ ، وَهُوَ آيَةُ الحُدُوثِ ، وَقَدْ ذَكَرَ اللهُ تَعَالَى فِي احْتِجَاجِ إِبْرَاهِيمَ الخَلِيلِ الاسْتِدْلَالَهُ بِحُدُوثِ الْآفِلِ عَلَى وُجُودِ المُحْدِثِ ، وَالحُكْمَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِحُكْمِ 
النيرات الثلاثة - وَهُوَ الحُدوث - طَرْدًا للدليل في كل ما هُوَ مدلوله ؛ لتساويها في عِلَّةِ الحُدُوثِ وَهِيَ الجِسْمَانِيَّةُ.

Dan beliau (az-Zarkasyi) juga berkata:

“Setiap orang yang memiliki bagian (penguasaan) ilmu lebih luas, maka bagian (pemahamannya) terhadap ilmu Al-Qur'an juga lebih besar. Oleh karena itu, ketika Allah Ta’ala menyebutkan dalil tentang rububiyyah (ke-Tuhanan)-Nya dan keesaan-Nya, kadang disandarkan-Nya kepada orang-orang berakal (‘ulul-‘aql), kadang kepada orang-orang yang mendengar (as-sāmi‘īn), kadang kepada orang-orang yang berpikir (al-mufakkirīn), dan kadang kepada orang-orang yang mengambil pelajaran (al-mudakkirīn); sebagai isyarat bahwa setiap kekuatan dari kekuatan-kekuatan tersebut dapat memahami kebenaran dari dalil-dalil itu.”

Dan seperti firman-Nya Ta’ala: "Sesungguhnya dalam hal itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar-Ra'd: 4), dan ayat-ayat lain yang semacam itu.

Dan ketahuilah, bahwa dari Al-Qur’an itu bisa diambil – dengan pemikiran yang mendalam – penalaran rasional (burhān ‘aqli) sesuai dengan metode ahli kalam (mutakallimīn).

Contohnya adalah dalil tentang “huduts al-‘ālam” (terjadinya alam semesta setelah sebelumnya tidak ada), yaitu melalui perubahan sifat-sifatnya dan peralihannya dari satu keadaan ke keadaan lain – ini adalah bukti terjadinya sesuatu (hudūts).

Allah Ta’ala juga telah menyebutkan dalam argumen Nabi Ibrahim ‘alayhis-salām bahwa beliau beristidlāl (menyimpulkan) dari terbenamnya bintang bahwa ia tidak layak menjadi Tuhan, dan beliau menetapkan sifat "hudūts" (ketidakkekalan) pada langit dan bumi sebagaimana pada benda-benda bercahaya tiga (matahari, bulan, dan bintang), dengan memakai qiyās (analogi) karena kesamaannya dalam sebab hudūts, yaitu karena semuanya adalah bersifat jasmani (jismāniyyah).

قال الشيخ أبو حفص عُمَرُ القَلْشَانِيُّ التونسي (ت ٨٤٧هـ) : (الواجب أَنْ يَكُونَ تَحْصِيلُ العَقَائِدِ مِنَ الشَّرْعِ لِيُعْتَدَّ بِهَا وَيَنْشَرِحَ الصَّدْرُ بِنُورِ النُّبُوَّةِ ، وَالْقُرْآنُ العَظِيمُ كَفِيلٌ بِبَيَانِ كُلِّ مَطْلَبٍ ، وَإِنْ كَانَ مِمَّا يَسْتَقِلُّ العَقْلُ بِإِدْرَاكِهِ ، إِلَّا أَنَّ مُوَاطَةٌ الشَّرْعِ لِلْعَقْلِ هُوَ العُرْوَةُ الوُثْقَى ».

Syekh Abu Hafs ʿUmar al-Qalshān at-Tūnisī (w. 847 H) berkata:

"Yang wajib bahwa perolehan akidah harus bersumber dari syarʿi (hukum Allah) agar dapat dijadikan pegangan dan agar hati dapat dibuka oleh sinar kenabian. Dan Al-Qur'an yang agung itu sudah cukup untuk menjelaskan setiap tuntutan, meskipun ada hal-hal yang sebenarnya dapat dipahami oleh akal secara mandiri, kecuali bahwa landasan syarʿi bagi akal adalah ‘urwatul wuthqā’."

وَقَالَ الإِمَامُ أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ السَّنُوسِيُّ (ت ٨٩٥هـ ): جَمِيعُ مَا تَعَرَّضَ لَهُ أَهْلُ الحَقُّ مِنَ الأَدِلَّةِ وَفَرَّرُوهُ فِي كُتُبِهِمْ نُقْطَةٌ مِنْ بَحْرِ مَا ذُكِرَ مِنْ ذَلِكَ فِي القُرْآنِ العَظِيمِ ، غَايَةُ الأَمْرِ أَنَّهُمْ بَدَّلُوا العِبَارَةَ وَوَضَعُوا أَلْفَاظًا اصْطَلَحُوا عَلَيْهَا لِقَصْدِ التَّقْرِيبِ تَعَلَّمَا وَتَعْلِيمًا ، وَذَلِكَ لَا حَجْرَ فِيهِ فِي جَمِيعِ العُلُومِ بِاتَّفَاقِ العُلَمَاءِ المُقْتَدَى بِرَأيهِمْ.

Kemudian, Imam Abu ʿAbdullāh Muḥammad bin Yūsuf as-Sanūsī (w. 895 H) berkata:

"Segala sesuatu yang pernah diungkapkan kepada para penghamba kebenaran melalui dalil-dalil dan telah mereka jabarkan dalam kitab-kitab mereka hanyalah sebutir titik dari lautan apa yang disebutkan dalam Al-Qur'an yang agung. Intinya, mereka telah menggantikan makna asli dengan frase-frase dan menetapkan istilah-istilah tertentu untuk tujuan memudahkan pemahaman, baik dalam pembelajaran maupun pengajaran. Dan hal itu tidak diperselisihkan dalam seluruh ilmu, sebagaimana disepakati oleh para ulama yang dijadikan teladan menurut pendapat mereka."

وَقَالَ أَيْضًا : «إِنَّ مَقَامَ إِفَادَةِ المَعْرِفَةِ بِاللَّهِ تَعَالَى - الَّتِي يَتَوَقَّفُ عَلَيْهَا السَّعَادَةُ الأُخْرَوِيَّةُ - خَلِيقٌ بِأَنْ يُعْتَنَى بِهِ غَايَةَ الاعْتِنَاءِ ، فَتَكَرَّرُ فِيهِ العِبَارَاتُ ، وَتُرَدَّدُ فِيهِ الدَّلَالَاتُ ، وَلَا يُقْنَعُ فِيهِ بِالإِيجَازِ وَلَا بِالإِشَارَاتِ ، وَقَلَّ مَا تَجِدُ آيَةً فِي الْقُرْآنِ الكَرِيمِ إِلَّا وَفِيهَا التَّنْبِيهُ عَلَى مَعْرِفَةِ اللَّهِ تَعَالَى ، إِمَّا بِالصَّرِيحِ ، أَوْ بِالتَّضَمُّنِ ، وَلِهَذَا أَقَامَ النَّبِيُّ ﷺ بِمَكَّةَ بَعْدَ أَنْ بُعِثَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ سَنَةً أُمِرَ فِيهَا بِالصَّبْرِ وَتَرْكِ الهِجْرَةِ وَالْقِتَالِ، وَلَمْ يَشْتَغِلْ فِيهَا إِلَّا بِتَقْرِيرِ أَدِلَّةِ التَّوْحِيدِ وَتَرْدِيدِهَا عَلَيْهِمْ فِي المَحَافِلِ

Beliau juga mengatakan:

"Sesungguhnya kedudukan memperoleh manfaat dari pengetahuan tentang Allah Taʿālā – yang menjadi dasar kebahagiaan akhirat – haruslah diperlakukan dengan perawatan yang amat tinggi, sehingga di dalamnya frase-frase diulang-ulang dan dalil-dalilnya sering disampaikan, dan tidak cukup hanya dengan penjelasan singkat ataupun dengan petunjuk-petunjuk samar. Hampir tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur'an yang tidak mengandung seruan untuk mengenal Allah Taʿālā, baik secara eksplisit maupun implisit. Oleh sebab itu, Nabi ﷺ menetap di Makkah setelah diutus selama tiga belas tahun, di mana beliau diperintahkan untuk bersabar, meninggalkan hijrah dan peperangan, dan beliau hanya sibuk dengan penegasan serta perulangan dalil-dalil tauhid kepada mereka di majelis-majelis dan sepanjang waktu, terus mengulang-ulang (dalil dan hujjah) dalam berbagai bentuk, hingga jalan-jalan untuk mengenal Allah Taʿālā dan kebenaran para rasul-Nya menjadi begitu jelas, kejelasan yang tidak menyisakan keraguan sedikit pun bagi orang yang adil maupun yang membangkang."

وَقَالَ العَلَامَةُ اليُوسِيُّ (ت) ۱۱۰۲ هـ ) الله : عِلْمُ أُصُولِ الدِّينِ عِلْمٌ قُرْآنِيُّ لِأَنَّهُ مَبْسُوطٌ فِي كَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى بِذِكْرِ العَقَائِدِ وَذِكْرِ النَّبَوِيَّاتِ وَذِكْرِ السَّمْعِيَّاتِ ، وَذَلِكَ مَجْمُوعُهُ ، مَعَ ذِكْرِ مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ وُجُودُ الصَّانِعِ ، مَعَ حُدُوثِ العَالَمِ المُشَارِ إِلَيْهِ بِخَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَالنُّفُوسِ وَغَيْرِهَا ، وَالإِشَارَةِ إِلَى مَذَاهِبِ المُبْطِلِينَ وَإِنْكَارِ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ ، وَالجَوَابِ عَنْ شُبَهِ المُبْطِلِينَ المُنْكِرِينَ لِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ إِمْكَانًا أَوْ وُجُودًا ، كَقَوْلِهِ : كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ ﴾ [الأنبياء: ١٠٤] ، وَقَوْلِهِ تَعَالَى : قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ ﴾ [يس: ٧٩] ، وَذِكْرِ حُجَجٍ إِبْرَاهِيمَ وَغَيْرِهِ مِنَ الأَنْبِيَاءِ ، وَحِكَمِ لُقْمَانَ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يَطُولُ ، وَتَكَلَّمَ فِيهِ النَّبِيُّ كَإِبْطَالِهِ اعْتِقَادَ الأَعْرَابِ فِي الأَنْوَاءِ ، وَفِي العَدْوَى وَغَيْرِ ذَلِكَ .

Dan al-‘Allāmah al-Yūsī (w. 1102 H) berkata:

"Ilmu Ushūl ad-Dīn adalah ilmu Qur’ani, karena ia tersebar dalam firman Allah Ta‘ala berupa penyebutan akidah-akidah, kenabian-kenabian, dan perkara-perkara sam‘iyyāt (hal-hal yang hanya diketahui melalui wahyu), dan itu semuanya—bersamaan dengan penyebutan apa yang menjadi dasar adanya Sang Pencipta, berupa terjadinya alam yang ditunjukkan oleh penciptaan langit dan bumi, jiwa, dan selainnya; juga penyebutan mazhab-mazhab kaum batil, penolakan terhadap mereka, serta bantahan terhadap syubhat mereka yang mengingkari sebagian dari itu—baik secara logika maupun keberadaannya. 

Seperti firman-Nya: “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, demikianlah Kami akan mengulanginya kembali.” (QS. al-Anbiyā’: 104), dan firman-Nya: “Yang akan menghidupkannya adalah Dzat yang menciptakannya pertama kali, dan Dia Maha Mengetahui segala makhluk.” (QS. Yā Sīn: 79).

Juga penyebutan hujjah-hujjah (argumen) Nabi Ibrahim dan para nabi lainnya, serta hikmah-hikmah Luqmān, dan lain sebagainya yang terlalu panjang untuk disebutkan semua, serta penjelasan Nabi dalam masalah keyakinan orang Arab terhadap bintang-bintang (anwa’), juga tentang penolakan terhadap anggapan adanya penyakit menular secara independen (tanpa izin Allah), dan lainnya."

وَمِنَ الأَئِمَّةِ الرَّاسِخِينَ وَالعُلَمَاءِ المُحَقِّقِينَ الَّذِينَ كَانَتْ لَهُمْ عِنَايَةٌ بِتَتَّعِ آيَاتِ أُصُولِ الدِّينِ وَاسْتِخْرَاجِ أَحْكَامِهَا وَاسْتِنْبَاطِ دَقَائِقِ دَلَالَاتِهَا الإِمَامُ المُجَدِّدُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَرَفَةَ التَّونِسِيُّ (ت ٨٠٣هـ) ه ، وَقَدْ قَيَّدَ عَنْهُ تَلَامِيذُهُ - الأُبَيُّ وَالبَسِيلِيُّ وَالسَّلَاوِيُّ - فِي مَجَالِسِهِ التَّفْسِيرِيَّةِ نُكَتًا وَلَطَائِفَ وَإِشَارَاتٍ وَأَبْحَاثًا عَقَدِيَّةً كَثِيرَةً ، تَدُورُ حَوْلَ الاسْتِدْلَالِ لِعَقَائِدِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالدِّفَاعِ عَنْهَا ، وَجُلُّهَا مِنْ بَنَاتِ أَفْكَارِهِ جَرْيًا عَلَى عَادَتِهِ فِي دُرُوسِهِ مِنَ الْحِرْصِ عَلَى الزِّيَادَةِ عَلَى مَا فِي بُطُونِ الكُتُبِ ، وَهُوَ القَائِلُ : إِنْ لَمْ يَكُنْ فِي مَجْلِسِ الدَّرْسِ الْتِقَاطُ زِيَادَةِ مِنَ الشَّيْخِ فَلَا فائِدَةَ فِي حُضُور مَجْلِسِهِ ، بَل الأولَى لِمَنْ حَصَلَتْ لَه مَعْرفَة الاصطلاح والقدر عَلَى فَهُم مَا فِي الكُتُبِ أَنْ يَنْقَطِعَ لِنَفْسِهِ وَيُلَازِمَ النَّظَرَ .

Di antara imam-imam besar dan ulama yang mendalam ilmunya, yang memiliki perhatian besar dalam menelusuri ayat-ayat Ushūl ad-Dīn, menggali hukum-hukumnya, dan menyibak isyarat-isyarat serta dalil-dalilnya secara mendalam, adalah:

Al-Imām al-Mujaddid Abū ‘Abdillah Muḥammad bin ‘Arafah at-Tūnisī (w. 803 H). Murid-murid beliau seperti al-Ubai, al-Basīlī, dan as-Salāwī telah mencatat dalam majelis-majelis tafsir beliau berbagai catatan penting, isyarat-isyarat halus, dan pembahasan-pembahasan akidah yang banyak seputar penetapan akidah Ahlus Sunnah dan pembelaan terhadapnya. Sebagian besar dari itu adalah murni hasil pemikirannya sendiri, sesuai dengan kebiasaannya dalam majelis-majelis pengajaran, yaitu semangat untuk memberikan tambahan ilmu di luar isi buku-buku yang dibaca.

Beliau berkata: “Jika tidak ada tambahan ilmu dari guru dalam suatu majelis pelajaran, maka tidak ada manfaat menghadirinya. Bahkan lebih utama bagi orang yang telah memahami istilah-istilah dan memiliki kemampuan memahami isi buku, untuk menyendiri dan terus menekuni kajian sendiri."

0 Komentar