KH. Muharrar Ali, Pengasuh Pondok Pesantren Khazinatul Ulum Blora (Senin, 9 Rabi’ul Awwal 1445/ 25 September 2023), menceritakan ulama-ulama NU sejak dulu sudah mempraktekkan cara berpikir ushuli (menggunakan kaidah ilmu ushul fiqh) sehingga pemikirannya kontekstual (muqtadlal hal) dan mampu memberikan solusi bagi perkembangan zaman (zamani).
Beberapa ulama NU memberikan teladan dalam berpikir ushuli ini. Antara lain:
Pertama, Prof. Saifuddin Zuhri (tokoh NU dan Menteri Agama era Presiden Soekarno) ketika menjadi Kepala Kantor Kementerian Agam Jawa Tengah lari cepat ketika KH. Raden Asnawi Kudus (salah satu pendiri Nahdlatul Ulama) mengunjungi kantor tersebut. Prof. Saifuddin Zuhri lari karena tahu bahwa KH. Raden Asnawi getol mengharamkan umat Islam menggunakan dasi, celana, dan semua atribut kolonial, khususnya Belanda-Jepang. KH. Raden Asnawi langsung memanggil staf Prof. Saifuddin dan bertanya: siapa yang lari tadi ? dijawab staf: Prof. Saifuddin. Tolong panggil sekarang. dawuh KH. Raden Asnawi.
Dengan tergopoh-gopoh, Prof. Saifuddin Zuhri menghadap KH. Raden Asnawi.
Melihat Prof. Saifuddin gemetar menghadapnya, KH. Raden Asnawi langsung bertanya : Kenapa kamu lari ? Prof. Saifuddin Zuhri langsung menjawab: Karena saya masih menggunakan dasi, celana, dan semua atribut seorang pejabat Kiai, sedangkan Panjenengan mengharamkan. KH. Raden Asnawi langsung dawuh: Itukan dulu ketika masih ada penjajah. Tujuan fatwa mengharamkan memakai dasi, celana dan seluruh atribut penjajah adalah untuk menanamkan kebencian kepada mereka.
Inilah ‘illat (alasan hukum) mengharamkan memakai atribut penjajah dengan hadis : من تشبه بقوم فهو منهم (siapa yang menyerupai satu kaum, maka dia termasuk dari mereka). Setelah Indonesia merdeka, maka ‘illat itu sudah hilang sehingga memakai dasi, celana dan seluruh atribut penjajah lainnya boleh. Demikian penjelasan KH. Raden Asnawi Kudus, penulis kitab Fashalatan yang legendaris itu.
Hal ini disampaikan Prof. Saifuddin Zuhri dalam salah satu acara di Kudus.
Kedua, ketika masyarakat sekitar rumah KH. Muharrar Ali menginginkan supaya masjid depan beliau digunakan untuk melaksanakan shalat jum’at. Sedangkan masjid sekitarnya yang jaraknya dekat sudah digunakan melaksanakan shalat jum’at. Maka, KH. Muharrar Ali langsung sowan KH. Abdullah Zain Salam (Mbah Dullah Salam) Kajen Margoyoso Pati untuk bertanya masalah ini.
Mbah Dullah dawuh: iku jenenge fikih, nek rupek yo diokeh-okeh. Bapakku, Mbah Salam yo ngono (itu namanya fikih, jika sempit ya diluaskan. Bapakku Mbah Salam juga begitu). Dalam kajian fiqh dijelaskan, ada beberapa hal di mana diperbolehkan ‘ta’addudul jum’at’ (berbilangnya shalat jum’at) dalam satu tempat. Salah satunya karena ‘usrul ijtima’ (sulitnya berkumpul).
Ketiga, Kiai Ali Jepara (Bapak KH. Muharrar Ali) ketika ditanya soal masjid yang kurang 40 orang mendirikan shalat jum’at sendiri, apakah harus melaksanakan shalat dhuhur lagi setelah shalat jum’ah ? kondisi masyarakat orang yang bertanya ini masih minim pemahaman dan pengamalan agamanya. Mereka mau melaksanakan shalat lima waktu saja masih sangat berat, sehingga jika harus melaksanakan shalat jum’at dan shalat dhuhur sekaligus, maka sangat memberatkan. Maka Kiai Ali menjawab: jika harus melakukan shalat dhuhur lagi, maka masyarakatmu tidak akan mau. Artinya, cukup melaksanakan shalat jum’at saja karena masyarakatnya belum mampu menggabungkan shalat jum’at dan dhuhur sekaligus.
Tentu ini adalah jawaban seorang kiai yang bijaksana yang lahir dari pemahaman yang mendalam terhadap agama dan masyarakat sekaligus, sehingga pemikiran yang disampaikan membawa kesejukan, kasih sayang, dan solusi, bukan memberatkan. Ingat kaidah: المشقة تجلب التيسير (kesulitan mendatangkan kemudahan). Dan memang ada pendapat dari Ashhabus Syafii (para murid Imam Syafii) yang membolehkan shalat jum’at kurang dari 40 orang. Dalam kondisi normal lebih baik dilengkapi dengan shalat dhuhur (bisa dibaca dalam Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin bab shalat jum’ah).
Tiga ulama NU di atas memberikan ‘ibrah dan inspirasi kita, para santri, untuk berlatih berpikir ushuli sehingga pemikiran yang disampaikan mampu menjadi solusi efektif dari problematika sosial.
Blora, PP. Khazinatul Ulum, Senin, 25 September 2023
0 Komentar