Ada dua masalah "besar" yang pernah menimpa rumah tangga nabi Saw. Pertama saat istri beliau, Aisyah dituduh serong dengan seorang laki-laki bernama Shofwan bin Muatthal. peristiwa ini dalam kitab-kitab sirah nabi disebut "hadist al-Ifk".
bagaimana tidak, beliau seorang nabi dan istrinya diberitakan melakukan perbuatan serong. secara alur cerita dan bukti, tuduhan yang beredar memang konon mendekati kebenaran. Apalagi propaganda yang dilakukan koalisi Munafik Madinah juga massif.
Wahyu sebagai "info langit" juga tidak kunjung turun memberi klarifikasi. Kata ulama, masalah ini terus berlangsung hingga sebulan penuh. Masa-masa tersebut adalah masa paling berat untuk nabi. di Masa tersebut nabi melakukan banyak hal untuk mencari kebenaran, salah satunya adalah bermusyawarah dengan para sahabatnya.
Respons sahabat juga bermacam-macam. Ada yang membela Aisyah dan mengatakan bahwa "Saya tidak melihat darinya kecuali kebaikan". Ada pula yang mengatakan, "Ceraikan saja, perempuan lain banyak".
Hingga akhirnya, setelah kondisi makin buntu baru kemudian al-Qur'an turun untuk memberi fakta kasus yang sebenarnya sembari membersihkan nama baik istri nabi, Aisyah. Al-Quran surat al-Nur ayat 11 sampai 20 menegaskan bahwa tuduhan yang berkembang selama ini tidak benar.
masalah kedua yang cukup menguras emosi nabi--dan ini jarang yang tahu karena tidak sefamiliar kisah pertama--adalah saat beliau tiba-tiba diperintahkan untuk menikahi mantan istri anak angkatnya yang bernama, Zainab binti Jahsyi.
Perlu diketahui bahwa di zaman itu, anak angkat tidak sekadar anak angkat tetapi relasi mereka dengan orang yang mengangkatnya seperti anak kandung. dan kedekatan sosial emosionalnya sangat kuat. Tidak bisa dibayangkan jika tiba-tiba nabi harus segera menikahi mantan istri anak angkatnya.
Itulah kegusaran nabi saat beliau menangkap info bahwa dirinya akan menikahi istri Zaid.
Alur kisah pernikahan nabi dengan Zainab adalah: suatu waktu Zaid mengadu pada Nabi tentang istrinya, Zainab dia berkehendak untuk menceraikan istrinya itu. Nabi dengan bijak menjawab dan memberi saran:
أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ
“Tahanlah istrimu itu dan bertakwalah kamu pada Allah Swt.”.
Lalu turun ayat:
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ
“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata pada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan takutlah pada Allah “ sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah telah akan menyatakannya dan kamu takut pada manusia sedang Allah-lah yang lebih berhak ditakuti”. (Qs. Al-Ahzab [33]: 37)
Banyak orang salah paham atas ayat ini. Pemahaman mereka salah karena disandarkan pada atsar-atsar yang batil yang tidak layak dengan maqam kenabian Nabi Muhammad. Sebagian orang menganggap, dari ayat di atas, bahwa nabi Muhammad saat memberi saran pada Zaid agar ia menahan istrinya, pada waktu itu sebenarnya beliau sedang menginginkan Zainab untuk dijadikan istri.
Padahal faktanya tidak demikian. Ayat di atas merekam bagaimana nabi Muhammad mendapat info bahwa Zaid dan istrinya akan bercerai dan beliau juga tahu bahwa dirinya akan menikahi mantan istri anak angkatnya itu. Sampailah beliau pada rasa “takut” terhadap komentar orang-orang pada waktu itu. “Muhammad kok menikahi mantan istri anaknya”.., kira-kira seperti itu kekhawatiran nabi.
Akhirnya nabi harus menerima fakta bahwa pernikahan beliau dengan Zainab memang harus dilaksanakan dan itu bukan karena dorongan personal beliau akan tetapi karena ada perintah langsung dari Allah dalam al-Qur’an:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً
“Maka tatkala Zaid mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannnya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah Swt. pasti terjadi”. (Qs. Al-Ahzab [33]: 37)
Dan sesuatu yang dikhawatirkan nabi benar-benar terjadi. Orang-orang berkomentar sinis pada beliau. Mereka berkata:
تَزَوَّجَ حَلِيلَةَ ابْنِهِ
“Muhammad menikahi mantan istri anaknya”.
Lalu turunlah ayat lain yang menegaskan bahwa apa yang dilakukan nabi Muhammad adalah perintah wahyu.
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Qs. Al-Ahzab [33]: 40)
Dan ayat lain:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Panggillah anak-anak (angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah Swt, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya tetapi yang ada (dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Ahzab [33]: 5 )
Kisah pernikahan nabi dengan mantan istri anak angkatnya ini dalam al-Qur'an begitu lengkap dan runut meski harus disadari ada beberapa penafsiran yang dianggap "problematik" dan menyebabkan banyak kesalahpemahaman (kapan-kapan kita bahas aspek penafsiran yang problematik ini).
Masalah kedua ini cukup berat bagi nabi, hingga sebagian penulis sejarah pernah berkata: "Andai nabi boleh menyembunyikan wahyu niscaya wahyu tentang ia harus menikahi Zainab akan disembunyikan".
0 Komentar