Akhir zaman ini gencar dikampanyekan gerakan anti madzhab yang digagas oleh ulama Wahaby atau Salafy. Mereka menganggap dengan bermadzhab itu berarti kita telah mengkotak-kotakkan Islam, sehingga nantinya bisa membuat perpecahan terhadap siapa saja yang berbeda pendapat dengan kita. Jelas pendapat ini ngawur, hanya berisi dugaan yang tidak akurat dan pertanda masih belum memahami seluk-beluk bermadzhab. Karena itu perlu diluruskan agar tidak menimbulkan fitnah yang berkepanjangan.
Sesungguhnya bermadzhab itu cara kita mengamalkan petunjuk al-Qur’an dan hadits dalam beribadah menurut pemahaman para ulama yang sangat ahli dalam menggali hukum Islam dari sumbernya (mujtahid). Para mujtahid yang menjadi pendiri madzhab tersebut ada 4 ulama yaitu Abu Hanifah (madzhab Hanafy), Malik bin Anas (madzhab Maliky), Muhammad bin Idris as-Syafi’i (madzhab Syafi’i), dan Ahmad bin Hambal (madzhab Hambali). Mereka adalah para ulama yang belajar langsung dari sahabat Nabi atau tabi’in . Jadi para imam madzhab merupakan generasi terbaik yang dibanggakan Rasulullah s.a.w. Mereka sangat hafal dan menguasai kandungan al-Qur’an serta jutaan hadits berikut penguasaan berbagai disiplin keilmuan yang dibutuhkan untuk menggali hukum Islam. Para pendiri madzhab disebut Mujtahid Mutlak.
Bahkan Imam Syafi’i dijuluki sebagai nashirus sunnah (penolong sunnah). Dikarenakan beliau dengan gigih memerangi, membantah atau meluruskan semua golongan yang berusaha menolak hadits, baik yang menolak secara total seperti golongan inkarussunnah ataupun penolakan terhadap sebagian hadits saja yang bisa dijadikan hujjah yakni hadits ahad. Begitu pula terhadap golongan yang mendahulukan penalaran akal (qiyas) daripada hadits atau yang menerima hadits ahad yang sesuai dengan amaliyah penduduk Madinah saja, semuanya diluruskan oleh Imam Syafi’i.
Maka jika kita tidak mengikuti para imam madzhab, dan berusaha berijtihad sendiri tanpa ilmu yang memadai, niscaya kita akan tersesat dalam memahami dan mengamalkan ajaran al-Qur’an dan sunnah. Dari sinilah terletak anti penting bermadzhab.
Dengan bermadzhab, bukan berarti kita mengkotak-kotakkan Islam, karena para imam madzhab sendiri mencontohkan saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Dan kita pun yang mengikuti madzhab mereka diajarkan untuk bisa menghargai orang lain yang berbeda madzhab. Jadi tidak benar madzhab itu telah mengkotak-kotakkan Islam atau menjadi sumber perpecahan. Mereka mengeluarkan statement sebagai berikut :
“Kami saling tolong menolong terhadap apa yang kami sepakati dan saling menghargai terhadap perbedaan pendapat yang ada pada kami.”
Lihatlah bagaimana Imam Syafi’i ketika sholat Shubuh di Baghdad, Iraq, beliau tidak berqunut karena menjaga perasaan para sahabat Imam Abu Hanifah, di mana dalam madzhab Hanafy, qunut itu tidak sunnah. Begitu juga sebaliknya salah seorang ulama Hanafiyah (penganut madzhab Hanafy) saat mengimami shalat Shubuh di Masjid Imam Syafi’i melakukan qunut, karena menghormati pendapat Imam Syafi’i yang mensunnahkan qunut.
Kemudian jika ditelusuri dari sejarah Islam, tercatat bahwa semua imam ahli hadits juga tidak anti madzhab. Mereka ternyata lebih memilih menganut salah satu madzhab yang empat, baik madzhab Syafi’i, madzhab Hanafy, madzhab Maliky ataupun madzhab Hambaly. Sikap bermadzhab itu sendiri mengindikasikan bahwa mereka merasa belum setaraf tingkat keilmuan, kesalehan dan ketaqwaannya dibandingkan para imam madzhab.
Selain itu, mereka adalah orang-orang saleh yang tidak fanatik dengan pendapatnya sendiri, toleran, menghargai perbedaan pendapat, dan tidak gengsi untuk menerima pendapat atau kebenaran dari orang lain . Berikut ini tertera daftar ulama-ulama ahli hadits (muhadditsin) yang bermadzhab Syafi’i :
a. Imam al-Bukhary (194 - 256 H)
b. Imam Abu Dawud (202 - 275 H)
c. Imam an-Nasa’i (214 - 303 H)
d. Ibnu Khuzaemah (223 – 311 H)
e. Imam Ad-Darimi (w. 280 H)
f. Imam at-Tirmidzy (w. 295 H)
g. Imam Ibnu Hibban (w. 354 H)
h. Imam Daruquthni (306 - 385 H)
i. Imam Ibnu al-Mundzir (w.309/310 H)
j. Imam al-Baihaqy (384 - 458 H)
k. Imam Ibnu ‘Asakir (499 – 571 H)
l. Imam an-Nawawy (631 - 676 H)
m. Imam al-Dzahabi (673 – 748 H)
n. Imam Ibnu al-Mulaqqin (723 – 804 H)
o. Imam Zainuddin al-‘Iraqi (725-806 H)
p. Imam Nuruddin al-Haitsami (735 – 807 H)
q. Imam Waliyuddin al-Iraqi (762 – 826 H)
r. Imam Ibnu Hajar al-‘Asqolany (773 - 852 H)
s. Imam Ibnu Nashiruddin al-Dimasyqi (777- 842 H)
t. Imam Jalaluddin as-Suyuthi ( 849 - 911 H)
u. Imam Qisthalani (w. 923 H).
Ada pendapat lain dari Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa Imam An-Nasa’i (w. 303 H) dan Abu Dawud (w. 275 H) itu bermadzhab Hambali. Sedangkan Imam Muslim dan Ibnu Majah belum terkonfirmasi menganut madzhab siapa.
Selain mereka, para imam hadits lainnya menganut madzhab lainnya Namun untuk kapasitas para imam madzhab, mengikuti madzhab Imam Syafi’i bukanlah dikatakan taklid, melainkan ittiba’.
Kebanyakan mereka yang anti madzhab berpedoman kepada pernyataan para imam madzhab agar jangan taqlid kepada mereka. Misalnnya perkataan Imam Abu Hanifah yang menyatakan :
اِذَا قُلْتُ قَوْلًا يُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ تَعَالَى وَ خَبَرَ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتْرُكُوْا قَوْلِيْ
“Apabila aku berkata (berpendapat) dengan suatu pendapt yang menyalahi Kitabullah dan hadits Rasulullah saw, maka tinggalkanlah pendapatku.”
Sementara perkataan Imam Malik tentang larangan bertaqlid kepadanya sebagai berikut :
لَيْسَ اَحَدٌ بَعْدَالنَّبِيِّ ص.م اِلاَّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَ يُتْرَكُ وَ يُتْرَكُ اِلاَّ النَّبِيُّ ص.م.
“Tidak ada seorang pun sesudah Nabi s.a.w. melainkan perkataannya boleh dipakai atau diabaikan kecuali sabda Nabi s.a.w.”
Sedangkan perkataan Imam Syafi’i tentang larangan bertaqlid begini :
اِذَا صَحَّ الْحَديْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ
“Apabila (suatu pendapat berdasarkan) hadits yang shahih, maka itulah madzhabku.”
Adapun perkataan Imam Hambali tentang larangan bertaqlid kepadanya sebagai berikut :
مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ ص.م فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ
“Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah s.a.w. maka dia berada dalam jurang kerusakan.”
Pernah pula beliau berkata seperti ini :
لَا تُقَلِّدُوْنِيْ وَ لَا تُقَلِّدْ مَالِكًا وَلَا الشَّافِعِيَّ وَلَا الْاَوْزَاعِيَّ وَلَا الثَّوْرِيَّ وَ خُذْ مِنْ حَيْثُ اَخَذُوْا .
“Barangsiapa Janganlah kalian semua bertaqlid kepadaku, jangan pula kepada Imam malik, Imam Syafi’i, Imam al-Auza’i, Imam Al-Tsauri. Namun ambillah dari sumber mana mereka mengambilnya (Al-Qur’an-Hadits).”
Sesungguhnya perkataan para imam madzhab yang melarang bertaqlid kepada mereka ini adalah ditujukan kepada murid-murid mereka yang sudah tinggi tingkat keilmuannya bahkan memiliki kualifikasi menjadi seorang mujtahid. Jadi, bukan ditujukan kepada orang-orang yang bodoh atau tingkat keilmuannya masih rendah .
Namun ulama Wahabiyyin keliru menggunakan perkataan imam-imam madzhab tersebut dengan menyerukan gerakan anti madzhab. Parahnya, seruan tersebut ditujukan kepada sembarang orang, hingga menyentuh orang-orang awam yang masih bodoh dan dangkal keilmuannya. Sehingga dampaknya sangat mengkhawatirkan antara lain :
• mereka meremehkan para ulama dengan mengatakan bahwa mereka juga manusia biasa yang punya kemungkinan benar dan salah, sehingga perkataannya bisa dipakai dan bisa juga tidak. Yang muncul adalah rasa kesombongan.
• Pelaksanaan ibadah yang mencampuradukkan pendapat para imam madzhab. Mengambil yang gampang-gampangnya saja dari berbagai madzhab sesuka hatinya.
• Mereka juga memandang bahwa mengikuti para imam membuat umat Islam terpecah belah alias terkotak-kotak. Karena itu kewajiban bermadzhab harus ditinggalkan.
Ini pendapat yang menyesatkan. Justeru para imam madzhab yang berbeda pendapat satu sama lain saling menghargai dan menghormati. Perbedaan pendapat disikapi dengan rasa cinta dan etika. Inilah yang disebut perbedan itu adalah rahmat, sehingga tidak ada gontok-gontokan seperti kekhawatiran kaum Wahaby.
Oleh : Cep Herry Syarifuddin (Pengasuh Pesantren Sabilurrahim Mekarsari, Cileungsi, Bogor).
0 Komentar