Lambang Garuda diklaim salah seorang Habib adalah ciptaan Sultan Hamid Algadri, faktanya ada tim perancang lambang negara diantaranya Mohammad Yamin, Sultan Hamid Algadri II, Ki Hajar Dewantara, kemudian Bung Karno menyetujui yang dirancang Sultan Hamid tetapi desainnya tidak sesuai, maka kemudian Bung Karno meminta pelukis bernama Dullah merevisinya. Sehingga lambang itulah yang dipakai hingga hari ini
Bendera Merah Putih diklaim sebagai buah karya Habib Idrus bin Salim al-Jupri, faktanya bendera merah putih adalah bendera yang sudah lama beredar sejak zaman Majapahit, dwi warna itu sering dibawa oleh pasukan Bhayangkari pimpinan Gajah Mada, dan keputusan bendera merah putih sebagai bendera Republik Indonesia adalah keputusan resmi BPUPKI.
Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 diklaim yang menentukan Habib Ali al-Habsyi Kwitang, faktanya Pemuda Menteng 31 memaksa tanggal 15 Agustus 1945, karena 16 Agustus itu adalah tawaran Jepang atas para pendiri bangsa, untuk tidak terjadi proklamasi di 16 Agustus maka pemuda menculik Bung Karno, Bung Hatta dibawa ke Rengasdengklok, bukti sejarahnya adalah rumah milik orang Tionghoa bernama Djiauw Kie Siong, tempat singgah kedua tokoh bangsa itu ketika diculik pemuda Menteng 31.
Karena atas desakan Pemuda Menteng 31 itulah akhirnya diputuskan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di tanggal 17 Agustus. Saksi dan bukti sejarah detik detik dibacakan proklamasi kemerdekaan itu adalah Rumah Dinas Laksamana Maeda, perwira angkatan Laut Jepang. Teks proklamasi dirumuskan di rumahnya, tidak ada Habib satu pun yang menyertai dalam perumusan teks proklamasi atau ikut partisipasi jelang dibacakan proklamasi kemerdekaan esok hari di tanggal 17 Agustus. Semua dicatat dan tercatat rapih di buku-buku sejarah dan otobiografi Bung Karno dan Bung Hatta selaku pelaku sejarah serta di arsip nasional.
Lagu Indonesia Raya diklaim sebagai ciptaan Habib Husein Mutahar, padahal faktanya bukan beliau yang menciptakan lagu tersebut, pencipta dan sekaligus mengaransemen lagu Indonesia Raya itu adalah Wage Rudolf Supratman, bukti sejarahnya adalah kertas asli bekas gubahan tangan W.R Supratman dan sebuah Biola yang ternyata pernah ditampilkan saat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di Gedong Juang 45. Sementara Husein Mutahar ikut menggubah lagu nasional selain Indonesia Raya, seperti Syukur, sebagai sikap nasionalisme yang tumbuh di dada Husein Mutahar.
Lalu Bung Karno sakit demam saat malam tanggal 17 Agustus 1945, besoknya sehat itu karena pengaruh obat dari dokter pribadi Bung Karno, namanya dr. Soeharto bukan madu yang diberikan oleh Habib Kwitang Jakarta. Intinya bukanlah habib.
Rumah Bung Karno di jalan Pegangsaan Timur no. 56 yang jadi rumah bersejarah diklaim Habib dari keturunan Ba'Alawi adalah rumah milik Faradj Martak, orang Yaman asli, padahal gedung tersebut merupakan bekas kediaman warga Belanda sebagai landhuis atau semacam country house yang pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak dibangun di Batavia. Rumah itu memiliki 12 kamar, sebuah garasi, serambi belakang, ruang depan, tengah, dan ruang makan. Saat Jepang memusatkan pemerintahan Dai Nippon di Jakarta itu di lingkungan Pegangsaan Timur, dan Bung Hatta memerintahkan keponakannya dari Bukittinggi agar mencarikan rumah untuk Bung Karno tinggal.
Keponakan Bung Hatta itu mendapat rumah bekas orang Belanda terletak di Pegangsaan Timur nomor 56, kemudian dibelinya. Sedangkan Faradj Martak itu rumahnya di Pegangsaan Timur nomor 40 dan nomor 41. Agak jauhan tapi masih di Pegangsaan Timur.
Jika fakta sejarahnya seperti itu, harusnya tidak boleh anak negeri, apalagi imigran Yaman ini merubah-rubahnya, karena memalsukan sejarah bangsa itu adalah pengkhianat negara. Wajib bagi negara untuk menindak para pemalsu sejarah tersebut, demi keselamatan bangsa dan negara.
oleh : Hamdan Suhaemi
Referensi:
- Moh. Hatta, Menuju Pintu Gerbang Kemerdekaan.
- Cindy Adam, Biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat.
-Sudirman, Sejarah 3.
- Frances Gouda, American visions of the Netherlands East Indies/Indonesia: US foreign policy and Indonesian nationalism,1920-1949.
- Arsip Nasional
0 Komentar