Ngaji Ushul Fikih Ma'had Aly Lirboyo

Ngaji lagi bersama teman-teman Ma'had Aly Lirboyo. Kalau sebelumnya saya mendiskusikan secara singkat ushul fiqh mulai dari mabadi', al-hukm, penasfiran teks, pentaklilan teks dan penerapan teks, maka sekarang saya masuk ke pembahasan mengenai pengaruh perbedaan kaidah ushul fiqh terhadap perbedaan fuqaha. Referensi utama saya dalam hal ini adalah Atsar al-Ikhtlilaf fi al-Qawai’id al-Usuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’ karya Syaikh Mustofa Sa’id al-Khon.

1. Menurut Syaikh Abdullah bin Bayyah, dalam teks-teks agama kata al-fiqh dipakai untuk menunjuk dua makna. Yaitu: 

-Pemahaman yang dimiliki oleh seseorang (al-fahm al-ladzi yattashifu bihi al-syakhshu). Penggunaan kata al-fiqh untuk makna ini bisa kita lihat misalnya dalam surat Hud ayat 91:
قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول 
“Mereka berkata, kami tidak banyak mengerti apa yang kamu katakana…”

-Teks-teks syariat (al-nushȗs al-syar’iyah). Penggunaan kata al-fiqh untuk makna ini mislanya bisa dilihat dalam hadis berikut:
رب حامل فقه غير فقيه ورب حامل فقه إلى من هو أفقه منه.
“Banyak orang yang hafal teks-teks syariat, tapi bukan orang yang  paham maknanya. Dan banyak pembawa teks-teks syariat menyampaikannya kepada orang yang lebih paham dibanding dia.”(HR. Abȗ Dâwud)

-Bisa keduanya seperti dalam hadis riwayat Ahmad yang di dalamnya berisi doa Nabi untuk Ibn Abbas, yaitu: 
اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل.
“Wahai Allah, fahamkanlah dia dalam bidang agama dan berilah dia pengetahuan untuk menafsiri.”

2. Dalam ushul fiqih, penggunaan nama fiqih masih diperselisihkan. Sebagian ahli ushul memakai nama fiqih untuk semua pengetahuan hukum-hukum syariat, baik hukum yang ditetapkan dengan dalil-dalil qath’i ataupun hukum yang ditetapkan dengan dalil-dalil dhonni. Sebagian yang lain memakai nama fiqih untuk hukum yang ditetapkan dengan dalil qoth’i saja. Mayoritas ahli ushul memakai nama fiqih untuk pengetahuan tentang hukum-hukum yang ditetapkan dengan dalil dzonni. Pengertian yang paling sering dipakai, terutama dikalangan ulama’ kontemporer adalah sebagai berikut:

العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية.
“Ilmu mengenai hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan yang diambil dari dalil-dalilnya yang spesifik.”

3. Pemahaman mujtahid terhadap dalil-dalil spesifik itu bisa berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga menimbulkan mazhab-mazhab fiqih yang cukup banyak. Namun yang paling terkenal ada empat, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, Mazhab Syafii, dan Madzhab Hanbali. 

4. Mazhab adalah pendapat-pendapat seorang imam mengenai masalah-masalah ijtihadi, baik disampaikan secara tegas atau melalui isyarat. Demikian pula pendapat-pendapat pengikut-pengikut seorang imam yang dihasilkan melalui takhrij terhadap pendapat imamnya. 

5. Menurut Dr. Ya'qub Bahsin, istilah takhrij dipakai oleh para ulama untuk menunjuk dua pengertian. Pertama, menggali hukum dari kaidah atau mengeluarkan hukum-hukum juz'iyah kaidah dari potensial kpd aktual, minal quwwah ilal fi'li. Ini masuk dalam takhrijul al-furu' ala al- ushul. Yang kedua adalah menggali hukum dari furu' yg dinisbatkan kepada imam, baik ucapannya, tindakannya, maupun persetujuan/taqrirnya. Ini disebut takhrijul al-furu' ala al-furu'. Menurut KH. Muhib Aman Ali, takhrijul al-furu' ala al-furu' dipraktekkan dengan tiga cara, yaitu ilhaqul Masa'il binadhorihi, idkholil mas'al tahta umi Kalam al-Imam, dan idkholil mas'alah tahta mafhum kalamil imam.

6. Kemudian adalagi yang disebut takhrij khos yaitu ketika terdapat dua masalah yang mirip, namun oleh imam diberi hukum yang berbeda. Kemudian mujtahid muqayyad memakai pendapat imam dalam satu masalah itu untuk menghukumi masalah lain yang menyerupainya maka hasilnya disebut “qaul mukharraj”. 

Takhrij ini bisa dilakukan jika tidak ditemukan fariq antara dua nash imam tersebut. Pada umumnya dalam masalah semacam ini Ashabus Syafii tidak satu suara. Sebagian melakukan takhrij, sedangkan sebagian yang lain memunculkan fariq.

Sebagai contoh, masalah iqtidâu al- qâri’ bi al-ummi dan iqtidâu al-qâim bi al-qâid. Dua masalah ini mirip, yaitu sama-sama masalah bermakmumnya orang yang sempurna (al-tâm) kepada imam yang tidak sempurna (al-nâqish). Tapi dua masalah ini dijawab dengan jawaban yang berbeda oleh imam al-Syafii. Iqtidâu al- qâri’ bi al-ummi dijawab tidak sah. Sedangkan iqtidâu al-qâim bi al-qâid di jawab sah. Maka dalam menyikapi hal ini, sebagian Ashhab melakukan takhrij dengan cara menjadikan pendapat imam Syafii dalam kasus iqtidâu al-qâim bi al-qâid sebagai jawaban kasus iqtidâu al- qâri’ bi al-ummi. Sehingga masalah iqtidâu al- qâri’ bi al-ummi ini berdasarkan takhrij ini dihukumi sah. Dalam Syarh al-Mahalli Ala al-Minhaj diterangkan sebagai berikut:

ولاقدوة قارئ بالأمي في الجديد لأن الإمام بصدد تحمل القراءة عن المأموم المسبوق فإذا لم يحسنها لم يصلح للتحمل والقديم يصح إقتداءه به في السرية لقراءة المأموم فيها بخلاف الجهرية فيتحمل الإمام عنه في القديم وفي ثالث مخرج (أي من الجديد السابق في صلاة القائم بالقاعد) يصح إقتداءه به في السرية والجهرية بناء على لزوم القرأة للمأموم فيهما في الجديد. قال في الروضة: هذه الأقوال جارية سواء علم المأموم كون الإمام أميا أم لا، وقيل هي إذا لم يعلم كونه أميا فإن علم لم يصح قطعا.

7. Meski tidak sepopuler empat mazhab di atas, ada beberapa mazhab lain yang lahir mewarnai perjalanan sejarah umat Islam, yaitu: mazhab Sufyan al-Tsauri, mazhab Laits bin Sa’d, mazhab Ishaq bin Rahawaih, mazhab Ibn Jarir, mazhab Dawud al-Zahiriy, mazhab al-Awza’iy, dan mazhab Sufyan bin Uyainah. Pada awalnya, semua mazhab-mazhab ini mempunyai cukup banyak pengikut. Hanya saja mazhab-mazhab tersebut tidak bertahan lama karena para pengikutnya tidak banyak yang membukukan dan mengembangkannya. Karena itu, banyak ulama’ berpendapat bahwa selain mazhab yang empat tidak boleh dijadikan rujukan dalam putusan hukum dan fatwa. Bahkan sebagian ulama’ mengklaim bahwa larangan mengikut selain mazhab empat ini merupakan konsensus ulama’. Al-Zarkâsyiy misalnya, di dalam al-Bahr al-Muhîd, dia menulis:

والحق أن العصر خلا عن المجتهد المطلق، لا عن مجتهد في مذهب أحد الأئمة الأربعة وقد وقع الاتفاق بين المسلمين على أن الحق منحصر في هذه المذاهب، وحينئذ فلا يجوز العمل بغيرها، فلا يجوز أن يقع الاجتهاد إلا فيها.

“Pendapat yang benar bahwa masa ini tidak ada mujtahid mutlak. Adanya cuma mujtahid dalam mazhab salah satu imam yang empat. Telah terjadi kesepakatan di antara umat Islam bahwa kebenaran terbatas pada mazhab-mazhab ini. Karena itu, tidak boleh beramal dengan selainnya, karena tidak boleh terjadi ijtihad kecuali dalam lingkup mazhab yang empat itu.”

Mengenai alasan larangan tersebut, Ibn ‘Allan dalam Dalil al-Fâlihin berkata: 

ومحل تقليد الصحابة بالنسبة للمقلد الصرف في تلك الأزمنة القريبة من زمنهم. أما في زمننا فقال بعض أئمتنا: لا يجوز تقليد غير الأئمة الأربع الشافعي ومالك وأبي حنيفة وأحمد لأن هؤلاء عرفت مذاهبهم واستقرّت أحكامها وخدمها تابعوهم وحرروها فرعاً فرعاً وحكماً حكماً فقلّ أن يوجد فرع إلا وهو منصوص لهم إجمالاً أو تفصيلاً، بخلاف غيرهم فإن مذاهبهم لم تحرر وتدوّن كذلك فلا يعرف لها قواعد يتخرج عليها أحكامها، فلم يجز تقليدهم فيما حفظ عنهم منها لأنه قد يكون مشترطاً بشروط أخرى وكلوها إلى فهمها من قواعدهم، فقلت الثقة بخلوّ ما حفظ عنهم من قيد أو شرط فلم يجز التقليد حينئذٍ.

“Bagi muqalid murni, taklid kepada sahabat hanyalah boleh bagi mereka yang dekat dengan masa sahabat. Adapun di zaman ini maka sebagian imam melarang bertaklid kepada selain imam yang empat, al-Syafii, Malik, Abȗ Hanifah dan Ahmad. Alasannya karena mazhab mereka telah diketahui, hukum-hukumnya telah mantab, dan para pengikutnya telah membukukan dan merumuskan cabang percabang dan hukum perhukum. Hampir tidak ada suatu masalah cabang kecuali terdapat nash mereka baik secara global ataupun secara rinci. Berbeda dengan selain imam yang empat itu, mazhab mereka tidak terumuskan dan tidak terbukukukan, sehingga tidak diketahui kaidah-kaidah yang menjadi pijakan hukum-hukum mereka. karena itu, tidak boleh taklid kepada mereka berkaitan pendapat-prndapat yang disandarkan kepada mereka, karena bisa jadi ada syarat lain yang tidak kita ketahui.”Alasan berbeda ditampilkan oleh Ibn Rajab al-Hanbali dalam al-Raddu ‘Ala Man Ittaba’a Ghoir al-Mazâhib al-Arba’ah. Dia berkata:

فإن قال أحمق متكلف: كيف يحصر الناس في أقوال علماء متعينين ويمنع من الاجتهاد أو من تقليد غير أولئك من أئمة الدين.قيل له: كما جمع الصحابة - رضي الله عنهم - الناس من القراءة بغيره في سائر البلدان؛ لما رأوا أن المصلحة لا تتم إلا بذلك، وأن الناس إذا تركوا يقرؤون على حروف شتى وقعوا في أعظم المهالك.فكذلك مسائل الأحكام وفتاوى الحلال والحرام، لو لم تضبط الناس فيها بأقوال أئمة معدودين: لأدى ذلك إلى فساد الدين، وأن يعد كل أحمق متكلف طلبت الرياسة نفسه من زمرة المجتهدين وأن يبتدع مقالة ينسبها إلى بعض من سلف من المتقدمين؛ فربما كان بتحريف يحرفه عليهم كما وقع ذلك كثيراً من بعض الظاهريين، وربما كانت تلك المقالة زلة من بعض من سلف قد اجتمع على تركها جماعة من المسلمين. فلا تقضي المصلحة غير ما قدره الله وقضاه من جمع الناس على مذاهب هؤلاء الأئمة المشهورين - رضي الله عنهم – أجمعين.

“Jika orang bodoh yang memaksakan diri berkata: bagaimana manusia dibatasi untuk mengikuti pendapat-pendapat ulama’ tertentu, dilarang berijtihad dan bertaklid pada selain mereka, maka dijawab: sebagaimana para sahabat memabatasi bacaan tertentu tatkala mereka memandang bahwa kemaslahatan menuntut demikian maka begitu juga dalam masalah-masalah hukum dan fatwa halal-haram. Jika tidak ada pembatasan untuk mengikuti ulama’ tetertentu maka hal itu akan menyebabkan kerusakan, dan orang bodoh akan mengklaim dirinya sebagai bagian dari kelompok mujtahid, sehingga berani membuat pendapat yang disandarkan kepada ulama’ salaf. Bahkan mungkin saja dengan melakukan perubahan terhadap pendapat-pendapat mereka, sebagaimana hal itu terjadi pada sebagian pengikut Zâhiriyah. Mungkin juga pendapat itu merupakan pendapat yang salah dari salah satu ulama’ yang terdahulu, yang ditolak oleh par ulama’ yang lain. Berdasarkan alasan ini, maka kemaslahatan menuntut membatasi manusia untuk mengikuti mazhab yang telah populer itu.”

8. Pendapat yang memperbolehkan ikut kepada selain mazhab empat banyak didukung oleh ulama’ kontemporer, seperti Abdullah bin Bayyah, Muhammad Abȗ Zahroh, dan Yusuf al-Qardlâwiy. Tatkala berbicara wilayah operasionalisasi maqashid dalam pembaharuan, Bin Bayyah mengatakan, maqashid bisa dihadirkan untuk menyeleksi pendapat-pendapat ulama’ masa lampau, termasuk pendapat yang telah lama ditingalkan (mahjurah) untuk kemudian pendapat tersebut dikuatkan dengan maqashid al-syarî’ah. Dalam konteks ini, Bin Bayyah menulis:

أقول لطلبتي؛ إن مكانة القول الراجح محفوظة، وحقوقه مصونة، لكن المقاصد تحكم عليه بالذهاب في إجازة، ولا تحيله إلى التقاعد، ريثما تختفي المصلحة التي من أجلها تبوأ القول الضعيف مكانه. ولكن الأمر يحتاج إلى ميزان يتمثل في النظر في الدليل الذي يستند إليه القول الراجح الذي قد لا يكون إلا ظاهرا أو فعلا محتملا. هذا من جهة الدلالة. ومن جهة المعقولية قد يكون قياسا غير جلي أو ذريعة غير قطعية المآل، وأيضا من جهة الثبوت قد يكون خبر آحاد ونحوه. ثم إن القول الضعيف غير العري عن الدليل والقائل به من أهل العلم الذين عرفت مكانتهم، وأنهم أهل لأن يقتدى بهم. وبذلك يكون الترجيح بالمقصد متاحا، بل ومتعينا.

“Saya selalu sampaikan kepada murid-murid saya bahwa kedudukan pendapat yang kuat tetap terpelihara dan hak-haknya tetap terjaga, tetapi kadangkala maqashid menetakan pendapat rajih itu harus berlibur untuk sementara, selama tersembunyi kemaslahatan yang juga merupakan alasan pendapat lemah menampati tempatnya. Akan tetapi, persoalan ini butuh kepada neraca yang terepresentasikan dalam pengkajian terhadap dalil yang menjadi pijakan pendapat rajih, yang terkadang ia hanya teks bertipe zahir atau perbuatan syari’ yang memilki banyak kemungkinan makna. Ini dari aspek dilalah. Sementara dari aspek  nalar terkadang ia berupa dalil qiyas khofi atau dzariah yang tidak pasti akibat negatifnya, dan demikian pula dari aspek validitas dalil tersebut, ia terkadang berupa hadis ahad dan semacamnya. Kemudian pendapat yang lemah juga tidak sepi dari dalil, dan yang memiliki pendapat itu termasuk ulama’ yang sudah diketahui kedudukannya dan patut dijadikan panutan. Dengan demikian, pengunggulan suatu pendapat dengan pendekatan maqashid menjadi sangat mungkin, bahkan bisa saja menjadi keharusan.”

Tatkala menjabarkan praktik ijtihad intiqâi, Syaikh Yusuf al-Qardhawi menulis:

وفي دائرة الإنتقاء يجوز لنا الخروج على المذاهب الأربعة لإختيار رأي قال به أحد فقهاء الصحابة أو التابعين أو من بعدهم من أئمة السلف.

“Dalam ruang lingkup pemilihan pendapat yang kuat ini, boleh saja kita keluar dari empat mazhab guna memilih pendapat yang dikemukakan oleh para pakar fiqih dari kalangan sahabar, tabi’in, dan para ulama’ salaf yang hidup setelah mereka.”

Salah satu contoh kasus yang menurut ijtihad al-Qardlâwiy, mengambil pendapat diluar empat mazhab justru lebih benar adalah tentang maksimal usia kandungan. Menurut Hanafiyah dan satu pendapat dalam mazhab Hanabilah, maksimal usia kehamilan dua tahun. Menurut Syafiiyah dan Hanabilah empat tahun. Menurut Mâlikiyah lima tahun, bahkan diantara mereka ada yang berpendapat tujuh tahun. Menurut al-Qardlâwiy, ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan obeservasi dan ekprimen menolak mentah-mentah pendapat-pendapat di atas. Pendapat-pendapat tersebut tidak didukung oleh bukti yang kongkrit dan penelitian ilmiah yang akurat, dan juga tidak memiki dasar al-Quran dan al-Hadis. Karena itu, dia lebih cocok dengan pendapat Ibn Hazm al-Zahiriy yang mengatakan bahwa maksmal usia kandungan adalah sembilan bulan atau pendapat Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam yang mengatakan bahwa maksimal usia kandungan adalah satu tahun berdasarkan perhitungan Qamariyah.

Sebelum al-Qardlâwiy, Abȗ Zahroh juga punya pendapat yang sama. Dalam kitab al-Akhwal al-Syahshiyah dia menulis:

والحق في هذه القضية أن هذه التقديرات لم تبن على النصوص بل على ادعاء الوقوع في هذه المدد وأن الإستقراء في عصرنا الحاضر لا يجد من الوقائع ما يؤيد التقدير بخمس ولا أربع ولا سنتين وإنما الوقائع تؤيد التقدير بتسعة أشهر وقد يوجب الإحتياط التقدير بسنة ورجح بعض الفقهاء المتقدمين ذلك ، فقد قال ابن رشد: ةهذه المسألة الرجوع فيها إلى العادة والتجربة وقول ابن الحكم والظاهرية هو الأقرب إلى المعتاد.  
“Yang benar dalam masalah ini, sesungguhnya ketentuan-ketentuan masa itu tidak dbangun berdasarkan nash-nash akan tetapi hanyalah berdasarkan klaim terjadinya peristiwa itu pada masa-masa tersebut. Penelitian pada masa ini tidak menemukan kejadan-kejadian yang memperkuat pendapat yang mengatakan maksmal usia kehamilan adalah lima tahun, empat tahum atau dua tahun. Realiata-realita justru menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa maksimal usia kehamilan dalah sembilan bulan. Dan sebagai langkah hati-hati, ditambah sampai satu tahun. Ibn Rusyd berkata: masalah ini rujukan adalah kebiasaan dan pengalaman nyata. Sedangkan pendapat Ibn al-Hakam dan Dzahiriyah lebih dekat pada kebiasaan.

Contoh yang ditampilakan oleh al-Qardlâwiy dan Abȗ Zahroh ini memperlihatkan bahwa bagi mereka boleh saja menggunakan mazhab diluar mazhab empat, termasuk mazhab Zâhiriyah. Pendapat ini berbeda dengan pendapat imam Haramain, yang berpendapat bahwa para penolak qiyas tidak dianggap sama sekali pendapatnya, baik dalam perbedaan atau kesepakatan. Dalam hemat penulis, boleh saja menerima pendapat Zâhiriyah dalam persoalan yang tidak jelas-jelas bertentangan dengan nalar. Adapun yang terakhir ini, penulis cendrung sepakat dengan imadi atas. Diantara contoh yang terakhir ini adalah pendapat mereka bahwa membuang kotoran ke dalam air diperbolehkan berdasarkan argumen bahwa yang tertera di dalam hadis hanyalah larangan berkencing di dalam air. Demikian pula pandangan sebagian dari mereka bahwa persetujuan wanita perawan untuk dinikahkan yang diungkapkan secara terus terang dapat merusak akad dengan argument bahwa di dalam hadis izin wanita perawan adalah diam.

9. Ada banyak penyebab terjadinya perbedaan pendapat di dalam fiqih Islam. Salah satunya adalah perbedaan kaidah ushul fiqh. Maksud kaidah ushul fiqih disini adalah sejumlah kaiadah yang digunakan oleh para mujtahid untuk menggali hukum dari sumbernya. Ini berbeda dengan kaidah fiqih. Kaidah fiqih adalah kumpulan hukum-hukum serupa yang merujuk kepada satu qiyas atau satu dhobit. Penjelasan lebih luas bisa dibaca dalam kitab yang menjelaskan tema ini. Misalnya Miftah al-Wushul ila Bina al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya Imam Muhammad bin Ahmad al-Tilmisani, Atsar al-Ikhtlilaf fi al-Qawai’id al-Usuliyah fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’ karya Syaikh Mustofa Sa’id al-Khon, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf Fiha fi al-Fiqh al-Islami karya Syaikh Mustofa Dib al-Bugha, dll.

10.  Dalam kaidah penunjukan lafal kepada hukum terdapat beberapa kaidah yang diperselisihkan. Antara lain perbedaan jenis dalalah dalam mafhum muwafaqah/dalalah al-nash, Masalah Umum al- Muqtada, beristidlal dengan mafhum mukholafah.

11. Dalam dalalah lafal dari aspek cakupannya terdapat beberapa kaidah yang diperselisihkan, antara lain masalah dalalah lafal am dan khos (yang berefek juga terhadap beberapa masalah ushuk fiqih, seperti polemic boleh tidaknya dalil dzanni mengkhusukan lafal am yang qaht’iyut subut dan polemic dalam kontrdiksi am dan khos),  kaidah hamlul mutlaq alal Muqayyad, penggunaan lafal mustrarak untuk semua maknanya, dan masalah penambahan terhadap nash.

12. Dalam kaidah yang berhubungan dengan Al-Qur'an secara khusus terhadap beberapa masalah yang menjadi perbedaan pendapat ulama, antara lain masalah Al-Qur'an adalah nama bagi lafal dan makna dan berhujjah dengan qiraat syadzah.

13. Dalam kaidah yang berhubungan dengan Sunnah secara khusus, terdapat beberapa kaidah yang menjadi perbedaan pendapat, antara lain masalah berhujjah dengan hadis Mursal dan berhujjah dengan hadis Ahad tatkala bertentangan dengan qiyas.

14. Dalam kaidah yang berhubungan dengan qiyas, terdapat beberapa masalah yang menjadi perbedaan pendapat antara lain kehujjahan qiyas secara umum dan kehujjahan qiyas syabah secara khusus.

15. Ahli ushul fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan term muthlaq.  Menurut pendapat yang dipilih oleh syekh Zakariyya al-Anshary dalam Lubb al-Ushul, muthlaq adalah lafadz yang menunjukkan pada hahiyyah ( hakikat, esensi) tanpa melihat kapada qoyyid apapun. Misalnya  lafadz Dzakarun, menurut pendapat ini yang ditunjukkan lafadz muthlaq adalah hakikat laki-laki tanpa memandang kepada selainnya, baik kuantitas ataupun sifat-sifatnya yang lain.

Sementara menurut pendapat al-Amidi dan Ibnu Hajib, muthlaq adalah lafadz yang menunjukkan pada sesuatu yang umum  yang dicakup oleh lafadz tersebut. Menurut pendapat ini, makna yang ditunjukkan lafadz Dzakarun adalah personal-personal atau individu-individu yang bisa masuk dalam kata laki-laki bukan mahiyyahnya laki-laki sebagaimana menurut pendapat pertama. Menurut pemilik pendapat ini, Nakirah ada dua yaitu Nakirah Amah  dan Nakirah Ghoru Amah. Sedangkan  Muthlaq menurut mereka adalah Nakirah Ghoiru Amah. Yakni Nakirah yang terletak dalam kalimat positif(kalam mutsbat)menurut al-Amidi dan Nakirah yang menunjukkan pada makna yang umum dalam jenisnya(bukan nakirah yang menunjukkan pada makna yang umum didalam nauw'(macam)nya) menurut Ibnu Hajib. 

Kata a'tiq raqabatan mu'minah tidak termasuk muthlak. Sebab, meski ia bisa memasukkan setiap individu-individu yang ada di bawahnya akan tetapi individu-individu tersebut tidak masuk dalam jenisnya tetapi masuk di dalam naw'(macam)nya. Jenis yang dimaksud disini adalah jenis budak, sementara yang dimaksud dengan naw'(macam) adalah budak yang mu'min. Jika kalimat mu'minah dalam contoh tersebut dihilangkan maka ia adalah lafadz muthlaq karena ia memasukkan individu-individu yang ada di bawahnya di dalam jenis budak. 

Pendapat terakhir ini dibangun atas dasar asumsi bahwa perintah atas mahiyyah(hakikat, esensi)seperti perintah memukul tanpa qoyyid adalah perintah untuk melakukan salah satu bagian particular(juziyyah)dari mahiyyah tersebut. Dalam hal ini, perintah untuk memukul dengan tanpa qoyyid berarti perintah untuk melakukan pukulan dengan tangan, dengan tongkat atau dengan yang lainnya dari setiap pekerjaan yang masuk dalam hakikat memukul. Sebab, menurut pendapat ini, hokum-hukum syariat umumnya hanya dibangun diatas masalah-masalah partikular bukan pada mahiyyah(hakikat, esensi)yang hanya ada di dalam nalar, karena bagi mereka, mahiyyah tersebut tidak mungkin wujud secara nyata.

Namun, menurut pendapat pertama, alasan ini tertolak. Sebab, ketidak mungkinan wujudnya mahiyyah itu hanya terjadi jika mahiyyah itu wujud secara sendiri tanpa berada pada juziyyah-juziyyahnya. Menurut pendapat ini, mahiyyah itu wujud dengan wujudnya bagian-bagian partikular mahiyyah tersebut, karena mahiyyah itu adalah bagian dari bagian-bagian partikularnya, sedangkan sesuatu yang menjadi bagian dari sesuatu yang wujud pasti adalah sesuatu yang wujud pula. Berdasarkan ini, maka perintah atas mahiyyah adalah perintah untuk mewujudkan mahiyyah tersebut dalam kandungan bagian-bagian partikularnya bukan perintah untuk melakukan juziiyyah-juziyyah itu sendiri.

Berpijak pada pendapat pertama (al-Mukhtar), maka lafadz muthlaq dan nakirah adalah sama, sedang yang membedakan antara keduanya adalah sudut pandangnya saja. Sebuah lafadz, jika dilihat dari sisi penunjukannya pada mahiyyah tanpa qoyyid disebut muthlaq dan jika dilihat sisi ia bersamaan dengan qoyyid makna umum (syuyu') disebut nakirah. Ketika seorang suami mengatakan kepada istrinya, in waladti dzakarain fa anti tholiqun, kemudian ternyata si istri melahirkan satu anak laki-laki. Dalam hal ini, jika yang dimaksud dengan kata dzakarun itu adalah muthlaq maka si istri tercerai akan tetapi jika yang dimaksud adalah nakirah maka si istri tidak tercerai. Hal ini, karena tinjauan muthlaq adalah pada hakikat dan hakikat laki-laki sudah wujud dalam satu orang, sementara tinjauan nakirah adalah pada qoyyidnya yakni dua anak laki-laki.

Selain dua pendapat ini, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa perintah atas mahiyyah adalah perintah atas semua bagian-bagian particular(juziah-juziah,afraad) dari mahiyyah tersebut, karena tidak adanya qoyyid menunjukkan pada makna umum. Dan ada pendapat lain yang mengatakan bahwa perintah atas mahiyyah berarti izin untuk melakukan tiap-tiap bagian partikular mahiyyah tersebut. Berdasarkan dua pendapat yang terakhir ini seseorang yang diperintahkan terhadap mahiyyah dianggap sudah keluar dari tuntutan perintah tersebut dengan melakukan satu saja dari juziyyah-juziyyah mahiyyah tersebut. 
Sedangkan Muqayyad adalah penunjukan lafal kepada hakikat sesuatu dengan diberi batasan yang memperkecil cakupannya atau lafal yang menunjukan pada makna yang tertentu. Seperti dalam al-Qur’an, al-Nisa: 92:
فتحرير رقبة مؤمنة.
“Maka wajib memerdekakan budak yang mukmin.”
Al-Quran  surat al-Nisa’: 92
فمن لم يجد فصيام شهرين متتابعين.
Al-Quran surat al-An’am:145
أو دما مسفوحا

16. Dalam masalah mutlaq Muqayyad ini, terdapat kaidah yang disepakati dan terdapat kaidah yang diperselisihkan.

-Ketika beradaan mutlak dan muqayyad hanya pada sebab hukum, sedangakan hukumnya sama. Dalam hal ini, Hanafiyah memberlakukan lafal yang mutlak pada kemutlakannya. Sedangkan Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah berpendapat ldalam hal ini lafal yang mutlak harus diarahkan kepada lafal yang muqayyad. 

-Sama dalam hukum dan berbeda dalam sebab. Dalam hal ini Hanafiyah tidak mengarahkan lafal yang mutlak pada lafal yang muqayyad. Karena itu, mereka tidak mensyaratkan imanya budak yang dimerdekakan dalam kafarat dzihar dan mensyaratkannya dalam kaffarat pembunuhan tidak tidak sengaja (qatl al-khotho’). Mayoritas ulama mengatakan bahwa dalam hal ini lafal yang mutlak harus diarahkan kepada lafal yang muqayyad, hanya saja sebagian dari mereka ada yang mengatakan hal ini dari sis lafal, sehingga memutlakkan dan ada yang mengatakan termasuk bab qiyas, sehinga mensyaratkan harus terdapat illat yang mengagabungkan antara keduanya.

Perbedaan pendapat di atas berpengaruh terhadap perbedaan pendapat di dalam masalah-masalah fiqih, antara lain: masalah membatasi radha’ yang menyebabkan mahram dengan jumlah teretentu, syarat iman pada budak yang dimerdekakan dalam kafarat dhihar, dan kewajiban zakat fitrah atas budak yang kafir.

Misalnya dalam masalah yang terakhir ini, Hanafiyah mewajibkan sayyid untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk budaknya yang kafir berdasarkan kemutlakan dalam hadis al-Daruquthni:
أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بصدقة الفطر عن الصعير والكبير والعبد ممن تمون.
Sedangkan mayoritas ualam tidak mewajibkan  sayyid untuk menzakati budaknya yang kafir berdasarkan hadis:
فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر من رمضلن صاعا من تمر أو صاعا من شعير على العبد والحر والذكر والأنثى والصغير والكبير من المسلمين.

11. Penambahan terhadap nash apakah disebut naskh atau tidak? Tambahan terhadap nash adakalanya berdiri sendiri dan adakalanya tidak. Jika berdiri sendiri maka adakalanya tidak sejenis dengan nash yang ditambahi, seperti menambah kewajiban zakat atas kewajiban sholat. Hal ini tidak disebut naskh secara sepakat. Dan adakalanya satu jenis, sepert menambah satu shola tatas sholat yang lima waktu. Dalam hal ini, mayoritas ulama mengatakan tidak ada naskh.

Jika tambahan itu tidak berdiri sendiri, seperti tambahan bagian, syarat, atau tambahan yang dapat menghilangkan mafhum mukholafah, maka  ulama berbeda pendapat.  Menurut Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, penambahan itu tidak disebut naskh secara mutlak. Karena hakikat naskh, yaitu mengganti dan menghilangkan hukum, tidak ada dalam penambahan tersebut. Yang terjadi justru penetapan hukum yang telah disyariatkan dan penambahan sesuatu yang lain terhadap hukum tersebut.

Menurut Hanafiyah, penambahan tersebut merupakan naskh karena hakikat naskh itu adalah menjelaskan berakhirnya hukum, dan makna ini ada dalam penambahan terhadap nash karena kemutlakan itu adalah makna yang menjadi tujuan kalam dan ia memiliki hukum sendiri yang sudah maklum, yaitu keluarnya seseorang dari tuntutan syariat dengan mengerjakan sesuai kemutlakannya, sedangkan pembatasan adalah makna yang dimaksudkan berlawanan dengan makna yang pertama karena ia menetabkan batasan sedangkan pemutlakan menghilangkan batasan tersebut, dan ia memiliki hukum sendiri yang sudah maklum, yaitu keluarnya seseorang dari tangguangan/tuntutan syariat dengan menjalankan sesuai batasan tersebut.

Menurut Al-Qadhi Abdul Jabbar, jika mafhm mukholafah dari teks yang ditambahi menafikan tambahan maka penambahan itu disebur naskh, dan jika tidak demikian maka tidak disebut naskh.

Menurut sebagian ulama, jika panambahan teresebut bisa merubah sesuatu yang ditambahi secara syar’i, sehingga jika dikerjakan setelah adanya penambahan itu dinilai tidak sah tanpa penambahan itu maka ia dihukumi naskh, dan jika dikerjakan tanpa tambahan itu tetap dinilai sah maka bukan naskh. Seperti menambahkan hukuman pengasingan kepada hukum cambuk.

Menurut sebagian ulama, jika penambahan itu melebur menjadi satu dengan sesuatu yang ditambihi (asal) maka disebut naskh, seperti penambahan dua rakat terhadap shalah subuh, jika tak demikian maka tidak disebut naskh, seperti penambahan dua puluh cambukan atas had qazf.

Menurur sebagian ulama, jika penambahan itu menghilangkan hukum yang ditetapkan dengan pertimbanban hukum asal atau ditetapkan dengan dasar akal maka tidak disebut naskh dan jika mengandung penghapusan terhadap hukum syari maka disebut naskh.

Dari perbedaan pendapat di atas, terjadi perbedaan pendapat juga dalam masalah menambahi nash al-Qur’an dengan hadis ahad. Jika penambahan tersebut dihukumi naskh dan teks asal yang ditambahi adalah qath’i maka ia tidak bisa dinaskh kecuali dengan dalil qath’I, karena itu tidak boleh menambahi ketentuan nash al-Qur’an dengan hadis ahad. Dan jika penambahan itu tidak dihukumi naskh maka penambahan terhadab nash al-qur’an dengan hadis ahad diperbolehakan.

Pengaruh perbedaan pendapat di atas bisa dilihat dalam beberapa masalah fiqih, misalnya niat adalam wudhu’, tartib dalam wudhu’, membaca fatihah dalam sholat, syarat suci dalam thowaf, dan hukuman tahgrib terhadap pezina ghoiru muhson.

Dalam masalah yang terakhir ini, Hanafiyyah berpendapat tidak adanya hukuman had pengasingan terhadap pelaku zina. Dalil pendapat Hanafiyyah ini, sebagaiman ditulis as-Sarkhasy/as-Sarakhshi adalah firman Allah yang artinya, maka jilidlah tiap-tiap dari mereka dengan delapan puluh jilidan(QS, an-Nur 24). Dalam ayat ini, menurut mereka Allah menjadikan sanksi dera sebagai total had zina. Jika disamping itu diwajibkan deportasi pelaku zina maka akan berarti sanksi dera adalah sebagian Had bukan total Had. Hal ini termasuk penambahan terhadap teks al-Quran, sementara penambahan terhadap teks menurut mereka termasuk naskh dan hadist ahad tidak boleh menaskh ketentuan teks al-Quran atau hadist mutawatir karena ia adalah dlonni  sementara al-Quran atau hadist mutawatir adalah qoth'i. Dari cara berpikir seperti, Hanafiyyah berpendapat pengasingan pelaku zina bukanlah termasuk had tetapi ta'zir yang ketentuannya dikembalikan pada kebijakan imam.

17. Qiyas syabah adalah qiyas yang titik temu antara ashal dan far' adalah washf syabahi.

Ada tiga definisi washf syabahi.

1 Al-Qadhi Abu Bakar

الوصف المقارن للحكم الذي لايكون مناسبا له بذاته ولكنه يستلزم المناسب.

Contoh: thoharah sebagai illat kewajiban niat dalam tayammum, sehingga bisa menkiaskan wudhu'. Thiharah tidak munasib trhdp hukum tersebut terbukti izalatun najasah yg juga thoharah TDK ada kewajiban niat. Akan tetapi dilihat dari sisi ia sebagai ibadah maka ia munasib trhdp hukum kewajiban niat. Sisi kemunasabahannya karena niat itu berfungsi membedakan ibadah dgn adah.

2. Imam al-Razi:

الوصف المقارن للحكم الذي لايكون مناسبا له ولكن علم اعتبار جنسه القريب من جنس الحكم القريب

Contoh: kholwat sebagai illat kewajiban memberi mahar menurut Malikiyah. Sifat ini TDK munasib dgn hukum. Karena kewajiban membayar mahar itu merupakan muqabil jima'. Adapun kholwat meskipun ia merupakan madhinatul wathi', tetapi dalam pandangan akal ia tdk berhak diberi imbal balik berupa harta. Hanya saja jenis sifat tersebut, yaitu keberadaan kholwat sebagai madhinatul wathi' yang terealisasikan dalam kholwat dengan ajnabiyah, diakui berpengaruh terhadap jenis hukum wujub, yaitu hukum mutlak yang menjadi nyata dalam hukum tahrim.

3. Aktsarul Muhaqqiqin:

الوصف الذي لا تظهر مناسبته بعد البحث التام  ولكن ألف من الشارع الالتفات إليه في بعض الأحكام.

Contoh: thoharah yg dikehendaki untuk melakukan sholat sebagai illat keharusan menggunakan air dalam thoharah dari hadas sehingga bisa mengkiyaskan menghilangkan najis. Antara thoharah dari hadas yg dikehendaki untuk sholat dgn hukum keharusan menggunakan air sebenarnya tidak tampak munasabah, hanya saja tatkala kita mengetahui bahwa syariat memperhatikan dan mengakuinya, yaitu dengan menetapkan hukum keharusan menggunakan air dalam taharah dari hadas untk sholat, thowaf dan menyentuh mushaf, maka kita menduga kuat bahwa sifat tersebut munasib terhadap hukum.

Jika dalam masalah menghilangkan najis kita berkata, ia adalah bersuci dari kotoran yg dikehendaki untuk sholat, maka dalam hal ini ada tiga qoyid. Pertama, thoharah, kedua, dari kotoran, dan ketiga, dikehendaki untuk sholat. Untuk qayyid pertama dan ketiga kita tahu keduanya telah diperhatikan dan diakui oleh syariat, yaitu dengan mengharuskan memakai air ketika bersuci untuk sholat, sedangkan qayyid yg kedua tidak diakui sama sekali dalm contoh tersebut. Dan tidak ada keraguan sedikitpun bahwa membuang sesuatu yang tidak dianggap oleh syariat lebih tepat dibanding membuang sesuatu yang dianggap oleh syariat. Dengan demikian  Illat yg menuntut harus menggunakan air adalah bersuci yg dikehendaki untuk sholat, sementara qayyid dari kotoran/najis sama sekali tidak berpengaruh.

Definisi ini yg dinilai benar oleh Syaikh Isa Manun. Di dalam Nibrasul Uqul fi Tahqiqil Qiyas Inda Ulamail Ushul beliau menulis:

وهذا التعريف هو الصحيح وقد نقله الآمدي عن أكثر المحققين ، وقال هو الأقرب إلى قواعد الأصول وقد ذكر الغزالي في المستصفى في بيان الشبه قريباً من هذا التعريف. ثم بعد أن وضحه توضيحا تاما وميزه عن المناسب والطردي ، قال : فإن لم يرد الأصوليون بقياس الشبه هذا الجنس فلست أدري ماالذي أرادوا أو بما فصلوه عن الطرد المحض وعن المناسب.

Namun Syaikh Mustafa Syalbi di dalam Ta'lilul Ahkam menulis,

وهكذا مثلوا وصوروا تلك التعريفات ومنه يخيل للناظر أنها متغايرة . من أجل ذلك أخذ بعض العلماء يناقش ويعترض ويضعف بعضها ويرجح البعض الآخر .

ونحن إذا عرفنا الغرض الذي من أجله عرفوا وهو التمييز بينه وبين قسيميه المناسب والطرد لم نتردد في القول بأن كل واحد منها يميز ويصور الشبه وأنها في الحقيقة متقاربة يجمعها معنى واحد وهو أنه ماليس مناسبا باللذات ولكنه يوهم المناسبة وهذا الإيهام يتحقق باستلزام المناسب أوالتفات الشارع إليه أو اعتبار جنسه في جنسه .

Kehujjahan qiyas syabah diperselisihkan oleh para ulama dan perbedaan pendapat ini berpengaruh besar dalam masalah fiqih.

Adapun mengenai nisbat antara qiyas Syabah dengan qiyas gholabul al-Asybah maka disini saya nukilkan ibarat dari kitab  Qiyas al-Syabah wa Atsaruhu fi Fiqh al-Zakat karya Syaikh Dzul Fahmi Bali:

وبعد عرض الخلاف وتحقيق نصوص الأصوليين في هذه المسألة أن مايراه الباحث راجحا  هو ما قاله الشيخ عيسى منون -حيث قام بالتوفيق بين كلامي الاسنوي والسبكي- من أن قياس غلبة الأشباه تارة تكون من قياس العلة إذا كانت الأوصاف التي كانت مناطة للحكم مناسبة وتارة من قياس الشبه إذا كانت الأوصاف شبهية . يقول رحمه الله:
ويؤخذ من مجموع هذا الكلام أن الفرع تارة يتردد بين أصلين فيشبه كلا منهما في أوصاف مناسبة للحكم ويلحق بأكثرهما شبها وتارة يتردد بينهما فيشبهمافي أوصاف شبهية ليست مناسبة للحكم ويلحق بأكثرهما شبها أيضا فعلى ذلك تكون غلبة الأشباه تارة من قياس العلة أي إذا كانت الأوصاف مناسبة أو من قياس الشبه أي إذا كانت الأوصاف شبهية ولعل الغالب أن يكون من قياس الشبه فإن التعارض بين الأوصاف المناسبة قليل - إلى أن قال- فيعلم من ذلك أن ما قاله الإسنوي نوع آخر غير قياس الشبه ليس على إطلاقه كما أن قول السبكي أن قياس غلبة الأشباه إما عين قياس الشبه أو نوع منه ليس على إطلاقه وإن كانت عبارته أقرب إلى الواقع لأن كثيرا من الأصوليين صرحوا بأن قياس الشبه هو قياس غلبة الأشباه.

 

0 Komentar