Posisi Imam Nawawi di Madzhab Syafi'i

Imam Syafi'i merupakan seorang mujtahid mutlak sekaligus pendiri mazhab Syafi'i sedangkan Imam Nawawi adalah ulama besar yang berhasil memfilter mazhab Syafi'i. Meski kapasitas ilmunya mempuni, imam Nawawi tidak dianggap sebagai ashab al-wujuh dalam mazhab, pemilik otoritas tertinggi dalam mazhab setelah imam Syafi'i (menurut standar kualifikasi zaman). 

Dalam keberlangsungan kontribusinya terhadap mazhab Syafi'i, Imam Nawawi acapkali memiliki pandangan pribadi yang menyelisihi pandangan Imam Syafi'i/Ashab al-Wujh. 

Dilihat dari posisinya, andai pendapat imam Nawawi seirama dengan putusan Imam Syafi’i dan ashab al-Wujh yang sudah final dalam mazhab tentu lebih realistis dari kenyataannya yang justru perbedaan yang dihadirkan. 

Fakta ini tentu menarik diulas. Di samping karena posisinya dalam mazhab, metode yang digunakan dalam pendapat pribadinya juga menjadi titik sorot penting untuk dikaji. 

Penting untuk dicatat bahwa mazhab adalah naqal (riwayat). Salah satu metode autentik yang digunakan oleh ashab al-wujuh adalah riwayat pendapat, baik itu dari imam langsung maupun dari murid-murid seniornya. Karena  ini kemudian pendapat tersebut dianggap bagian dari mazhab Syafi'i, setelah diverifikasi dan kualifikasi yang cukup ketat. 

Jika yang diriwayat adalah pendapat murid senior imam, maka dikaji prinsip-prinsip ijtihadnya, lalu disesuaikan dengan metode ijtihad imam. Jika memenuhi kriteria maka pendapat tersebut dianggap sebagai pendapat yang merepresentasikan mazhab Syafi'i: kuat dalam mazhab. 

Hal ini berbeda dengan Imam Nawawi karena ini bukan pemangku mazhab Syafi'i. Beliau tidak memiliki otoritas untuk berijtihad langsung kepada ayat atau hadis (ijtihad mazhaby). Posisi beliau sebagai mujtahid tarjih, bukan di sana.

Apakah pendapat pribadi Imam Nawawi memiliki derajat tertinggi dalam mazhab karena beliau dipandang sebagai muharrir mazhab atau justru dikesampingkan ?

Jadi, proses ikhtiyar Imam Nawawi hanya meneliti dalilnya saja, tidak menempuh jalur periwayatan pendapat sebagaimana yang diamalkan oleh ashab al-wujuh. Seolah imam Nawawi dalam hal ini mencoba melepaskan diri dari konteks bermazhab yang notabenenya riwayat. Ia memutuskan pendapat yang menurutnya kuat sesuai dengan ayat atau hadis. 

Karena ini pendapat pribadi Imam Nawawi adalah pendapat kuat dari sisi dalilnya dan lemah jika dipandang dalam mazhab. 

Meskipun proses kemunculan ikhtiyarat demikian, tidak membuat sosok imam Nawawi keluar dari barisan pengikut mazhab Syafi'i. Penggayaan mazhab yang dilakukan oleh imam Nawawi lewat ijtihadnya tetap mengacu pada kaidah dan prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan oleh imam Syafi'i. 

Dari sisi lain, karena memandang kapasitas keilmuannya, para fuqaha Syafi’yyah menetapkan ikhtiarat imam Nawawi sebagai pendapat kuat secara khusus; kuat menurut dalil, tapi lemah dalam mazhab.

Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan dalam kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra ;

‎ومذهب الشافعي رضي الله تعالى عنه لا يثبت باختيار النووي رضي الله تعالى عنه فإنه إنما يستعمل هذه العبارة فيما رجح دليله عنده لا من جهة المذهب ونحن شافعية لا نووية

‘’Mazhab Syafi’i tidak ditetapkan dengan pendapat pribadi Imam Nawawi, karena ikhtiyarat beliau hanya digunakan pada kasus yang dalilnya kuat disisinya saja bukan dari sudut pandang mazhab, sedangkan kami adalah SYAFI'YYAH bukan NAWAWIYYAH". 

Ungkapan tegas Al-Iraqi di atas dilatar belakangi oleh silang pendapat para fuqahak syafi'yyah pada kasus seorang perempuan yang tidak punya wali. Lalu ia menjadikan seorang laki-laki sebagai wali nikahnya. Kemudian perempuan itu menikah, dan yang menjadi walinya adalah laki-laki yang dia jadikan sebagai wali. 

Pada kasus ini, Ibnu Hajar memunculkan dua pendapat. Yang pertama menjawab sah, karena Abu Yunus bin 'Ala pernah meriwayatkan masalah ini dari Imam Syafi' dimana beliau mengatakan sah. Dan pendapat pertama ini juga menjadi pendapat ikhtiarat Imam Nawawi.

Sedangkan pendapat kedua menjawab tidak sah dan berkata; pendapat pertama tidak kuat dengan beberapa alasan yang mereka sampaikan.
Alasan pertama; Pihak yang menjawab tidak sah mempertanyakan validitas nukilan Abu Yunus bin 'Ala. 

Alasan yang kedua; memberikan jawaban hukum atas dasar pendapat pribadi Imam Nawawi. Karena ikhtiyarat beliau hanya kuat dari sisi dalilnya saja bukan dari sudut pandang mazhab padahal kami adalah pengikut mazhab syafi' bukan nawawi. Berikut potongan redaksinya;

‎وسئل عن مسألة وقع فيها جوابان صورتها امرأة لا ولي لها ولت أمرها رجلاً فزوجها فهل يصح نكاحها أو لا ؟ فأجاب الأول فقال يصح نكاحها إذا ولت أمرها رجلاً لأن يونس بن عبد الأعلى روى عن الشافعي رضي الله تعالى عنه أنه قال : إذا كان في الرفقة امرأة لا ولي لها فولت أمرها رجلاً فزوجها جاز واختاره الشيخ محيي الدين النووي رحمه الله تعالى...

‎وأجاب الثاني فقال هذا الجواب الأول ليس بمتجه لأمور أحدها: أن العبادي قال في الطبقات : إن هذا النص الذي رواه ابن عبد الأعلى رضي الله تعالى عنه من أئمة الشافعية رضي الله تعالى عنهم منهم من أنكره، ومنهم من قبله، وقال: إنه تحكيم، والمحكم قائم مقام الحاكم، وقد صحح تقي الدين أبو الحسن السبكي إنكار رواية يونس وأنها لا تتزوّج عند فقد الحاكم اهـ ويدل له ما رواه البيهقي الآتي ذكره في الأمر الثاني، ثم قال الولي العراقي: ومراده ما إذا كان المحكم صالحاً للقضاء، وبه أفتى صاحب المهذب ونقله العبادي عن غيره. قال الزركشي في الخادم وقضية كلامهم تفرد يونس بهذا النقل والتوقف فيه وقال الولي العراقي في فتاويه : إن النص الذي رواه يونس بن عبد الأعلى متوقف في ثبوته لأنه لم ينقله أهل التحقيق من أصحاب الشافعي، وقد قال الخطابي في أوّل معالم السنن ولذلك تجد أصحاب الشافعي إنما يعوّلون في مذهبه على رواية الربيع ابن سليمان والمزني، فإذا جاءت رواية حرملة والجيزي وأمثالهما لم يلتفتوا إليها ولم يعتدوا بها في أقاويله قال : ومذهب الشافعي رضي الله تعالى عنه لا يثبت باختيار النووي رضي الله تعالى عنه فإنه إنما يستعمل هذه العبارة فيما رجح دليله عنده لا من جهة المذهب ونحن شافعية لا نووية اهـ

Note: Perkataan tegas Ibn Hajr bukan untuk menyudutkan Imam Nawawi. Tapi untuk menempatkan dimana sebenarnya posisi ihktiyarat beliau ditempatkan.

KAMI SYAFI’YYAH BUKAN NAWAWIYYAH 

0 Komentar