Genealogi Kaum Rahayu.

Kejawen dengan kelompok penghayat itu beda genre. Kejawen itu konsep hidup masyarakat Jawa setelah pertemuannya dengan Islam.

Makanya Dr. Simuh membagi dua kategori kepustakaan Islam di Jawa, kepustakaan Islam santri berbasis huruf arab pegon, berpusat di pesantren sedangkan kepustakaan Islam kejawen berbasis huruf Jawa carangan berpusat di Kraton. Antara keduanya terjalin silaturahmi keilmuan melalui pengajaran.

Pasca Perang Jawa, melalui strategi kebudayaannya, para indolog kolonial mulai memisahkannya, pertama-tama dengan mengembalikan identitas susastra Jawa pada era pra Islamnya. Mulai diterjemahkanlah kembi karya-karya era Majapahit yang sudah ke dalam bahasa Jawa baru.

Kraton juga mulai diisolasi sebagai cagar budayq, sebab birokrasi pasca Perang Jawa bertanggung jawab langsung pada pemerintah kolonial. Para birokrat inilah yang kemudian ditarik ke dalam pembaratan dan mulailah diberi konstruk spiritualitas Jawa minus Islam.

Dari sinilah cikal bakal penghayat kepercayaan muncul. Karenanya, kepustakaan penghayat tertua itu baru lahir di akhir abad 19 dan awal abad 20, paling produktif antara tahun 1920-1960 an dibawah bimbingan para spiritualis dari Teosofie.

Pada sisi yang lain, pemisahan kepustakaan Islam Kraton dan Pesantren, telah menyebabkan kaum kejawen juga kehilangan rujukan pengajaran keagamaan dan mengembangkan sendiri secara mandiri suluknya. Bisa jadi, disinilah terjadi pertemuan antara kaum penghayat dengan kejawen dalam  aneka paguyuban kebatinan.

Akan tetapi, secara umum masih bisa dibedakan. Seperti kaum Aboge adalah kejawen sedangkan pangestu adalah kebatinan. Pangestupun menjadi kebatinan pasca meninggalnya pendirinya.

Sebab, menurut mas kyai Irfan Afifi, pakdhe Narto itu keislamannya bagus. Usai sholat subuh, ia selalu berdikir hingga terbit matahari dan kemudian ditutup sholat sunnah. 

Hanya saja, yang kemudian membukukan ajaran-ajaran hidup pakdhe Narto adalah seorang muridnya yang beragama Kristen. Makanya nampak ada "sinkretisme" di dalam kitab babon kaum pangestu, dimana Tuhan dijabarkan secara trinitarian suksma sejati, suksma kawekan dan roh suci, tidak lagi memakai skema, ahad, wahid dan ahaddiyah, sedangkan untuk ajaran moralnya mengacu pada tasawuf kaum sufi.

Problem menjadi lebih rumit ketika pesantren tidak mau lagi menyentuh kepustakaan Islam kejawen, dan kaum kebatinan dimana-mana mendeklarasikan diri sebagai kejawen yang asli. 

Ini belum ditambah kaum NPD ( Narcistic Personality Disorder. ) dari kalangan penganut Majapahitisme yang menganggap Islam sebagai biang kemunduran peradaban Jawa, yakni kaum Rahayu.

0 Komentar