Sedang libur kuliah. Bersama 2 orang junior, saya sempatkan ziarah ke kantor Niqabah Asyrof (lembaga perserikatan keturunan Nabi Muhammad SAW), di gedung besar jalan nasional berdekatan dengan Makam Imam Al Huseini, Universitas Al-Azhar, dan berdampingan dengan Darul Ifta', Distrik Gamaliea, Old Cairo.
Tujuan saya ke sana untuk mencari kebenaran kabar Niqabah Asyrof Mesir yang mencatat garis keturunan perempuan Nabi Muhammad SAW disahkan sebagai sayyid/ah/syarif/ah sebagaimana di video ceramah Syaikh Ali Jum'ah.
Setibanya di pintu kantor, 2 security menyodorkan buku tamu, meminta paspor, tanya kepentingan. Kami bilang ingin ke kantor bidang tahqiq nasab (Idaroh tahqiqul ansab). Lalu mereka menyuruh kami naik lift ke lantai 4. Setibanya di lantai 4 kami disambut pigura besar berisi pohon nasab silsilah Nabi Muhammad SAW dengan struktur cabang ke atas dan ke bawah. Tidak seperti pohon nasab yang umum saya lihat, di sana tertulis seluruh nama putra-putri keturunan Nabi dengan suami/istrinya. Laki-laki dan perempuan. "Mesir memang beda!" degup batin saya.
Kami diterima oleh pengurus nasab bernama Muhammad Alkhatib dan terjadilah wawancara antara kami. Dia mengatakan bahwa Niqabah Asyrof Mesir berbeda dengan lembaga keturunan Nabi di Arab Saudi atau Irak, "Kami mencatat semua jalur laki-laki dan perempuan dalam rangka lihifdzil ansab (pelestarian nasab) dan mengisbat mereka dengan syahadah/sertifikat nasab. Kalau di Saudi dan Irak hanya mencatat jalur laki-laki saja." Terangnya kemudian menjelaskan teori dan metodenya.
Lalu saya memotret contoh syahadah di atas meja Alkhotib, tertulis di sana: "Fulan bin Fulanah binti Fulan bin Fulanah ... Fatimah Az-Zahra R.A." Mirip penulisan nasab di keluarga pesantren Jawa/Madura.
Saya takjub untuk ukuran lembaga resmi kenasaban di Arab memiliki tradisi serupa dengan tradisi kenasaban orang Jawa/Madura. Mungkin tak salah kenapa Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara tertulis, karena mungkin banyak kesamaan? Namun naifnya, bukan Arab Mesir yang berimigrasi ke Indonesia di zaman kolonial, sehingga seperti saat ini terjadi semacam "perang kebijaksanaan" dengan Arab non Mesir (Yaman?) yang bertabrakan dengan kebijaksanaan "adat keluarga" pribumi.
Sebagian wawancara dengan Alkhotib saya rekam lewat Hp. Namun karena banyak tamu yang sedang mengurus nasab, wawancara dengannya jadi singkat.
Akhirnya kami turun ke lantai bawah dan berjumpa 2 security tadi, menyapa duluan: "Gimana? sudah selesai mengurus nasab? Apakah sudah ketahuan kalian keturunan Al-Hasani atau Al-Huseini?"
Mereka mengira kami sedang mengurus sertifikasi nasab.
"Tidak. Kami ke sini mencari informasi apakah keturunan perempuan disahkan atau dibatalkan. Ternyata benar di Mesir disahkan." Jawab kami.
"Memangnya ada masalah?" Tanya security.
"Iya, kuat saat ini di negara kami Indonesia keturunan perempuan dibatalkan." Terang kami.
"Astaghfirullahal'adhim..!" Kedua security terperanjat dengan mata terbelalak. Berkali-kali membaca istighfar.
Seorang security mulai meledek: "kalau boleh tahu berapa biaya menikahi wanita keturunan Nabi (yang tidak dianggap itu) di Indonesia? Apakah mereka bisa dibawa ke Mesir?"
Kami terkekeh-kekeh bersama, lalu meninggalkan kantor itu.
0 Komentar