Lebih satu jam. Kami di Bendo. Duduk bersandar di dinding masjid. Sebelumnya, shalat sunnah dua rakaat. Sujud mencium lantai berwana merah tua. Lantai yang dulu menjadi tempat sujud para shalih. Kami memilih shaf di bagian depan. Di samping mimbar. Di belakang pengimaman. Sejenak terbayang, seratus tahun lalu, Kiai Khozin rutin mengimami shalat. Istiqamah selama 40 tahun. Selepas itu, mendaras Ihya Ulumiddin
Di shaf-shaf itu, dulu berbaris para santri. Murid-murid Kiai Khozin yang nantinya menjadi tokoh ulama besar. Di antaranya adalah Syaikh Badawi Kesugihan Cilacap. Syaikh Khudlori Tegalrejo Magelang, salah satu pemegang sanad Ihya Ulumuddin. Syaikh Khotib Abdul Karim. Pengasuh Pesantren Salafiyah Curah Kates Jember. Beliau nyantri di Bendo sekitar 17 tahun.
Ada juga Syaikh Amir Fatah Kroya. Santri yang menjadi Dubes Korea Selatan 1980. Ada juga Syaikh Marzuqi Lirboyo. Menantu Kiai Abdul Karim yang nantinya menjadi tokoh penerus Lirboyo. Selain itu, ada Syaikh Ihsan Jampes. Santri Kiai Khozin ini nantinya menjadi tokoh yang mendunia. Namanya sangat disegani karena karya beliau yang fenomenal; Siraj al-Thalibin. Karya yang menjabarkan (syarah) kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali (450-505 H). Nama-nama besar ini, dulu istiqamah berjamaah dengan Kiai Khozin. Tercatat sebagai santri generasi awal.
Di tahun-tahun berikutnya, di shaf-shaf masjid pesantren Darul Hikam Bendo itu juga disesaki santri dari penjuru negeri. Di serambi masjid, Kiai Khozin membacakan Ihya Ulumuddin. Kami membayangkan, di antara santri-santri yang ikut khusuk memyimak itu adalah Syaikh Maisur Sindi Ringinagung, Kiai Sahal Mahfudz Pati, Syaikh Mahmud Mukhtar Cirebon, Kiai Fuad Hasyim Cirebon, Syaikh Hisyam Leler Banyumas, Abuya Dimyati Pandeglang Banten, Syaikh Mas’ud Cilacap, Syaikh Hasyim Podokaton Pasuruan, Syaikh Abbas Genteng Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Hampir 30 menit, kami duduk di serambi masjid. Sejurus kemudian, menyusuri asrama-asrama santri. Rapi berjajar. Bersih dan asri. Dari halaman depan hingga belakang. Di bagian belakang, terdapat kolam besar. Tempat mandi dan mencuci para santri. Terbayang di tempat itulah, santri-santri Kiai Khozin membersihkan diri dan pakaian sehari-hari. Selain nama-nama di atas, terbayang juga sejumlah tokoh lain. Dulu juga menggunakan tempat mandi itu. Ada Kiai Asrori al-Ishaqi Kedinding Surabaya, Kiai Salman Dahlawi Popongan, Kiai Shonhaji Kebumen, Kiai Hisyam Syafaaf Blokagung Banyuwangi, dan lainnya.
Tak berhenti di situ, kami lanjut ke belakang. Melihat dapur santri. Tepat di samping sungai. Saya banyangkan, di dapur itu, nama-nama besar di atas dulu juga masak bersama. Satu nampan dikerubuti 5-7 santri. Dengan lauk ala kadarnya. Siang itu, saya melihat pemandangan yang sama. 5 santri tengah lahap. Duduk melingkari satu nampan. Makan bersama.
Di samping dapur, mengalir sungai sepanjang tahun. Ada belasan anak tangga. Mengantarkan santri ke bibir sungai. Selain sebagai tempat mencuci, santri juga terbiasa mencari pasir. Kami lihat di sekitar sungai ada beberapa gundukan pasir. Pasir-pasir itulah yang digunakan untuk membangun pondok. Lantas siapa sebenarnya Kiai Khozin?
Kiai Khozin adalah pendiri Ponpes Darul Hikam Bendo Pare Kediri. Sekitar 3 KM dari Kampung Inggris. Kiai Khozin mempunyai nama asli Muhajir. Setelah naik haji, mengganti nama dengan Khozin. Beliau merupakan putra ke 3 dari Kiai Ujang Sholeh dan Nyai Isti’anah. Saudara-saudaranya adalah Kiai Mubarok Jampes Kediri, Kiai Dahlan Jampes Kediri, dan Kiai Abdurrouf Rejowinangun Papar Kediri.
Kiai Khozin pernah nyantri langsung kepada Syaikhona Kholil di Bangkalan. Nyantri singkat 3 bulan. Kemudian Kiai Dahlan Jampes (kakak Kiai Khozin) dipanggil oleh Syaikhona Kholil lewat mimpi. Panggilan untuk menjemput dan mengajak pulang Kiai Khozin. Pesan Syaikhona Kholil, adiknya (Kiai Khozin) dianggap "ngentek-ngeteki" ilmu di Bangkalan. Semua ilmu sudah diserap dan dikuasai. Semenjak pulang dari Bangkalan, Kiai Khozin ngaji Ihya kepada kakaknya (Kiai Dahlan Jampes) sampai bertahun-tahun.
Ketika mendirikan Pondok Bendo, kurang lebih tahun 1889 M, saat memiliki santri pertama, Kiai Khozin sudah berusia 60 tahun. Kiai Khozin mengasuh Pesantren Bendo kurang lebih 70 tahun. Wafat pada 24 Dzulqo’dah 1378 H/1 Juni 1959 M). Usia beliau kurang lebih sekitar 130 tahun.
Dari dulu era Kiai Khozin hingga saat ini, pengajian Ihya Ulumuddin terus istiqamah diadakan. Jika sudah khatam, diadakan tasyakuran. Tradisinya masih sama, yakni nanggap dangdut koplo. Berada di depan gerbang pesantren. Penontonnya penuh. Mengular memenuhi jalan desa menuju pondok. Dulu, di rentang 2001-2009, saat nyantri di Ringinagung, kami sampat dua kali ikut menonton. Berharap keberkahan pondok Bendo. Tempat nyantri segudang kiai. Meskipun, apa kaitannya antara nanggap dangdut koplo dengan khataman Ihya itu, bagi kami masih samar.
Dari FB Aviv
0 Komentar