Ijtihad Tidak Dibatalkan dengan Ijtihad


Ada empat ketentuan dasar terkait kaidah
‎الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد

1. Pada kasus yang diperbolehkan berijtihad, satu ijtihad yang telah berlangsung tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad lain. Sebab, jika ijtihad pertama dibatalkan oleh ijtihad kedua, maka ijtihad kedua juga bisa dibatalkan oleh ijtihad ketiga sehingga akan menyebabkan ketidakstabilan hukum.
 
2. Kaidah ini berlaku untuk keputusan masa depan, bukan masa lalu. Contoh: Jika seorang hakim telah memutuskan sebuah perkara berdasarkan ijtihadnya, lalu ijtihadnya berubah dan perkara serupa diajukan kembali, maka dia memutuskan perkara baru tersebut berdasarkan ijtihadnya yang kedua, tanpa membatalkan keputusan pertama, sebagaimana disungguhkan oleh Saidina Umar bin Khattab:
"تلك على ما قضينا ، وهذه على ما نقضي" 
“Keputusan tersebut berdasarkan apa yang telah kami putuskan sebelumnya, dan keputusan ini berdasarkan apa yang kami putuskan sekarang.”

Perbedaan dalam penerapan kaidah ini berlaku terhadap seorang hakim yang berubah ijtihadnya, maupun dua hakim yang berbeda. 

Misalnya, jika seorang hakim bermazhab Syafi’i memutuskan sebuah perkara berdasarkan ijtihadnya, lalu perkara yang serupa diajukan kepada hakim lain yang bermazhab Hanafi dan memiliki pendapat yang berbeda, maka hakim kedua tidak diperbolehkan membatalkan keputusan hakim pertama. 

Sebaliknya, dia harus melaksanakan keputusan tersebut, sementara untuk perkara lain, dia memutuskan berdasarkan pandangannya sendiri. 

3. Seorang hakim wajib melaksanakan keputusan hakim sebelumnya dalam perkara yang menjadi pokok sengketa yang telah diputuskan. Namun, dalam hal-hal yang menjadi konsekuensi dari perkara tersebut, ia tidak terikat pada madzhab hakim sebelumnya. 

Misalnya, jika hakim bermazhab Syafi’i memutuskan sahnya penjualan properti tanpa memberikan hak syuf’ah (hak prioritas membeli) kepada tetangga, maka hakim bermazhab Hanafi boleh memutuskan hak syuf’ah bagi tetangga, meskipun mazhab selain Hanafi, termasuk hakim sebelumnya, tidak mengakui hak syuf’ah untuk tetangga dan membatasinya hanya pada rekanan (pemilik saham bersama). 

Demikian pula, jika seorang hakim memutuskan sahnya wakaf, hal itu tidak serta-merta mencakup keputusan atas syarat-syarat yang terkait dengan wakaf tersebut. Apabila terjadi sengketa mengenai salah satu syarat di antara mereka yang memiliki pandangan berbeda, hakim dapat memutuskan berdasarkan mazhabnya, karena hal itu bukanlah pokok sengketa dalam keputusan hakim sebelumnya.
 
4. Kaidah "ijtihad tidak dibatalkan dengan ijtihad" tidak berlaku pada kasus kesalahan yang nyata (khath al-bayyin) atau ketidakadilan. Keputusan dari ijtihad hakim dapat dibatalkan jika: 

a. Bertentangan dengan nash (Al-Qur’an atau hadis), ijma’, atau qiyas jaliy. 
b. Bertentangan dengan kaidah umum syariat, seperti keputusan yang ganjil atau menyelisihi prinsip hukum.
c. Tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
 
Kesalahan yang Nyata:
Jika seorang hakim membuat keputusan, kemudian kebenaran muncul, maka keputusan sebelumnya dibatalkan, asalkan masih memungkinkan untuk diperbaiki. 

Jika kesalahan terungkap melalui pengakuan hakim itu sendiri, maka keputusan tidak dibatalkan terhadap pihak yang telah menerima keputusan tersebut. Hal ini berlaku dalam perkara yang menyangkut hak-hak manusia (haququl al-Adamy)
 
Adapun dalam kasus yang berkaitan dengan hak Allah, seperti hudud (hukuman zina dll), jika hukuman telah dilaksanakan, kemudian kesalahan hakim terungkap, maka tanggungan hukum berada di baitul mal (kas negara). 

Namun, jika hakim mengakui bahwa keputusannya tidak adil, maka dalam semua keadaan tanggung jawab berada pada hartanya sendiri. Huluman terhadapnya adalah ta’zir dan dicopot dari jabatannya. 

Sumber:  تغير الاجتهاد ,الأستاذ الدكتور وهبة الزحيلي

0 Komentar