Puasa Diawal Islam dan Hikmah Disyariatkan Puasa

Menurut bahasa puasa itu imsak yang artinya menahan. Menurut para ulama setiap orang yang menahan diri dari berbicara, makan, berjalan disebut orang yang berpuasa.

Sedangkan, menurut istilah puasa itu:

 الإمساك عن جميع المفطرات من طلوع الفجر إلى غروب الشمس بنية مخصوصة

"Puasa adalah mencegah dari segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat tertentu".

Pertama kali puasa diwajibkan pada bulan sya'ban tepatnya pada tahun kedua Hijriyah. Dengan demikian, Nabi Muhammad melaksanakan puasa Ramadhan hanya sembilan kali, sebab nabi Muhammad wafat pada bulan rabi'ul awwal pada tahun II Hijriyah. Dalam sembilan kesempatan itu, Nabi Muhammad hanya sekali berpuasa genap 30 hari selebihnya hanya 29 hari.

Dinamakan bulan Ramadhan karena Bulan Tersebut bulan yang panas dan terbakar lah dosa itu dengan amal shalih. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Quthubi Di dalam Kitab Tafsirnya Al-Jaami' Li Ahkaami Al-Qur'an :

إنما سمي رمضان لانه يرمض الذنوب اي يحرقها بالأعمال الصالحة.
Dinamakan bulan Ramadhan karena ia membakar dosa-dosa dengan amal-amal shalih.

Dan pendapat para ulama' lainnya Seperti Yang Di Nuqil Oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqallani di dalam kitabnya Fathul Baari Syarh Shahih Bukhori bahwa Ulama Para ulama berbeda pendapat mengenai sebab dinamakannya bulan Ramadhan. Di antaranya, pada bulan ini dosa-dosa menjadi terbakar, karena 'Ramadhan' berasal dari kata ramdha' yang bermakna panas yang sangat. Ada pula yang mengatakan, karena permulaan puasa Ramadhan bertepatan dengan musim panas. 

Juga dinamakan bulan Ramadhan menurut dinamakan bulan Ramadhan menurut imam Bujairimi dalam kitabnya Hasyiah Bujairimi ala Al-Iqna' dijelaskan sesungguhnya dinamakan bulan Ramadhan karena menghilangkan dosa dosa atau membakar dosa-dosa. dikatakan menurut satu pendapat, dinamakan bulan Ramadhan karena hati menerima panasnya nasihat mau'idzoh (pengajaran) juga ada yang berpendapat dinamakan bulan Ramadhan karena masyarakat dulu memberikan nama bulan-bulan dengan sesuai musim yang mereka alami.

Dan bertepatan disyariatkan puasa ketika musim panas, lalu mereka menamakan bulannya yaitu Ramadhan. Sebagaimana dalam bahasa arab Lafadz Ramadhan berasal dari kata رمض yang memiliki arti إشتدحره (bersengatan panas).

Lantas, Kalian pernahkah berfikir bagaimana puasa diawal Islam? Apakah langsung sama seperti kita saat sekarang ini dari waktu fajar sampai Maghrib?

Nah, kita bahas.

Puasa pada awal Islam itu ga sama seperti kita sekarang ini, diawal Islam terdapat 3 fase perubahan tata cara puasa diawal Islam.

“Fase pertama”

Di fase pertama ini kewajiban berpuasa berlaku bagi siapa saja yang ingin berpuasa dan bagi siapa yang ga mau puasa maka dia harus memberikan makan kepada faqir miskin untuk setiap harinya

“Fase Kedua”

Difase kedua ini sangat unik sekali, bahwa berpuasa difase kedua ini dengan cara tidak boleh makan, minum atau berhubungan badan dimalam harinya, ketentuannya bila ia telah tertidur sebelum atau setelah sholat isya. Dengan demikian, apabila salah seorang diantara mereka berbuka, maka dia hanya dihalalkan makan dan minum sampai sholat isya saja. Tetapi, bila ia tidur sebelum atau setelah sholat isya', maka diharamkan baginya melakukan makan dan minum sampai keesokan malamnya diwaktu yang sama.¹

Oleh karena itu, difase kedua ini banyak orang mengalami kesulitan dalam puasa.

“Fase ketiga”

Difase ini adalah fase terakhir yang sampe sekarang ini kita amalkan yaitu puasa dengan cara menahan diri dari segala hal membatalkan puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, ketetapan inilah yang berlaku sampai hari kiamat.²

Dan ada beberapa hikmah disyari'atkannya berpuasa yaitu :

1. Sebagai bentuk syukur kepada Allah swt melalui puasa yang merupakan salah satu ibadah. Karena ibadah dalam bentuk apapun adalah wujud syukur seorang hamba kepada tuhannya atas beragam nikmat yang tak terhingga

2. Sebagai bentuk pengajaran dari Allah terkait bagaimana kita menjaga, menjalankan, tidak menyia-nyiakan dan tidak menyepelekan sebuah amanah, yaitu dengan memerintahkan kita untuk menahan diri dari makan, minum dan hal-hal yang dapat membatalkan puasa selama siang hari. Semua itu merupakan bentuk amanah yang diberikan oleh Allah kepada kita, sehingga menjaga amanah tersebut menuntut kita menahan banyak beban dan kesulitan sehingga dapat melelahkan jiwa dan raga. Dengan demikian, jika seseorang dalam keadaan sendirian dan berada ditempat yang sepi dan dia dalam keadaaan yang sangat lapar dan haus serta memiliki kesempatan untuk makan dan minum karena tak ada yang mengawasi, lalu dia mengikuti hawa nafsunya sehingga dia makan dan minum, maka dia telah menghianati amanah dari Allah Ta'ala dan dia berhak mendapatkan siksa.

3. Sebagai bentuk pengajaran kepada kita agar selalu ikhlas dalam menjalankan ibadah. Hewan adalah makhlum Allah yang hanya mementingkan makan, minum dan berbagai kenikmatan lainnya. Oleh karena itu, jika manusia mampu mengekang nafsu hewaninya dari semua hal itu, kemudian dia membersihkan dan membebaskan dirinya dari sifat hewani tersebut, niscaya dia akan mendekat kepada sifat malaikat. Sehingga dalam kondisi semacam itu, dia akan menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan. Maka, tidak salah jika mayoritas ulama menganjurkan agar mengurangi atau menahan perut dari banyak makan ketika ingin konsentrasi belajar, apalagi ketika mengarang kitab.

4. Untuk menjaga kesehatan. Para dokter telah banyak menyampaikan bahwa sebaiknya manusia tidak boleh makan dengan rakus, karena itu akan menimbulkan penyakit kronis sebagaimana disampaikan oleh sebuah riwayat :

المعدة بيت الأدواء والحمية رأس كل دواء وأعط كل جسد ما عودته

“perut (lambung) adalah tempat segala penyakit dan menjaga makan adalah inti dari segala pengobatan dan berikanlah setiap badan (tubuh) apa saja yang menjadi kebiasaannya (artinya tidak berlebihan)”. 

Ada kisah unik tentang ini :

Dikisahkan bahwa Kholifah Harun Ar-Rasyid memiliki seorang dokter Nasrani pintar yang bertanya kepada Ali bin al-Husain Waqid:

“Dalam kitab kalian, tidak ditemukan sama sekali ilmu kedokteran. Padahal ilmu itu terbagi menjadi dua, yaitu ilmu badan dan ilmu agama?”

Ali bin Al-Husain bin Waqid menjawab :

“Allah SWT telah merangkum ilmu kedokteran hanya dalam setengah ayat Al-Qur'an, yaitu firman Allah SWT :

وكلوا واشربوا ولا تسرفوا

"Makan dan minumlah kalian, namun jangan berlebihan”.

Lalu, si dokter Nasrani tadi bertanya lagi : Apakah sama sekali tidak ada riwayat dari Rasul kalian dalam masalah kedokteran?

Maka Ali bin Al-Husain bin Waqid menjawab:

Rasul kami telah merangkum ilmu kedokteran dalam lafadz yang singkat, yaitu:

المعدة بيت الداء والحمية رأس الدواء واعط كل بدن ما عودته

“perut (lambung) adalah tempat segala penyakit dan menjaga makan adalah inti dari segala pengobatan dan berikanlah setiap badan (tubuh) apa saja yang menjadi kebiasaannya (artinya tidak berlebihan)”.

Maka puaslah dokter tersebut dengan jawaban itu, sambil berkata :

“Sungguh kitabmu dan Nabimu telah meninggalkan resep kedokteran yang ampuh.”

Dan sungguh kita bisa lihat prakteknya dokter dan tenaga medis lainnya, Dokter kalau mau memberikan pasiennya. obat maka dia kosongkan tenggorokannya dari segala sesuatu baru dia melakukan diagnosa penyakit pasiennya. Atau memberikan makanan ringan untuk persiapan lambungnya seperti minum susu. Maka Puasa dari sisi ini adalah gambaran tentang penahanan diri dari makan dan minum sebagai bukti memberikan kesehatan terhadap jasad jasmani.

5. Mengurangi syahwat jimak (seks) yang juga merupakan sifat hewani, di mana akan berat untuk menahannya. Jika ada manusia fakir yang tak mampu menikah tapi takut terjerumus melakukan zina, maka sebaiknya dia melemahkan syahwatnya dengan berpuasa sekaligus menabung untuk keperluan menikah kelak. Rasulullah bersabda:

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء

"Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya”.

6. Timbul rasa kasih sayang atau kepedulian terhadap sesama manusia. Sesungguhnya jika manusia berpuasa dan merasakan pahitnya rasa lapar, nisacaya dia akan memiliki rasa simpati dan kasih sayang kepada orang-orang faqir dan miskin yang tidak memiliki makanan. Diriwayatkan bahwa Nabi Yusuf Alaihissalam tidak makan, kecuali dalam kondisi sangat lapar agar bisa teringat dengan orang-orang yang menderita susah dan membutuhkan.

📚: Referensi kitab Hikmatu Tasyri' wa Falsafatuhu


0 Komentar