Dulu sebelum ada kriteria ketinggian hilal minimal 3° hampir dipastikan hasil rukyat akan diterima dalam sidang Itsbat. Tetapi sekarang Indonesia bersama negara lain di Asia menetapkan 3° dan elongasi (sudut antara titik pusat bulan dan matahari saat terbenam) adalah 6,4. Petang ini kawasan Indonesia yang memenuhi kriteria adalah di Aceh.
Di Pulau lain tidak ada yang memenuhi kriteria tersebut. Tapi berdasarkan kesaksian para ahli Rukyat meskipun belum sampai 3° kadang hilal berhasil dirukyat. Lalu bagaimana jika ada daerah yang mengaku berhasil melihat hilal tapi ditolak oleh Menteri Agama?
Kita perhatikan dulu hadis berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ.
Ibnu Umar berkata bahwa para sahabat berupaya melihat hilal. Lalu saya kabarkan kepada Rasulullah bahwa saya melihatnya. Lalu Nabi berpuasa dan memerintahkan umat Islam berpuasa (HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan al-Hakim, ia menilainya sahih)
Alur dalam rukyat hilal adalah: ada orang yang berhasil melihat hilal > melaporkan / ikhbar kepada pemimpin > pemimpin menetapkan hari Ramadan.
Jika pemimpin sebuah negara menolak maka tidak wajib berpuasa dan mengikuti keputusan pemimpin. Tapi jika ada yang percaya pada ahli Rukyat yang berhasil maka baginya boleh mengikuti, sama seperti yang mempercayai hasil Ilmu Hisab perorangan maupun organisasi.
Penjelasan lebih lengkap di Buku Keputusan Bahtsul Masail kiriman KH Asyhar Shofwan, Wakil Katib PWNU Jatim.
0 Komentar