DALAM ilmu Ushul Fiqih kita belajar bahwa dalil atau sumber pokok hukum Islam itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadis). Keduanya merupakan dalil yang disepakati secara mutlak oleh seluruh ulama Mazhab dalam Islam Ahlussunah wal jamaah.
Hanya saja, pembahasan keduanya cukuplah rumit, tidak sederhana. Selain yang qath’i, ada teks yang zhanni, baik dalam segi wurud maupun dilälah-nya. Tidak bisa dimaknai dan diambil kesimpulan secara serampangan. Berijtihad dan ber-istinbäth hukum Islam dari dalil hanya boleh dilakukan orang alim yang pakar atau ahlinya.
Ibarat di dalam dunia perkopian, tidak semua orang bisa meracik kopi di kafe, kecuali barista atau siapa pun yang telah belajar secara teoritis atau terlatih dalam ilmu perkopian ini. Pakarlah yang punya otoritas meracik kopi, sebagaimana hanya koki, cheef atau orang yang terlatih dalam ilmu tata boga yang punya otoritas untuk meracik dan memasak di dapur untuk disajikan di restoran.
Semua orang boleh sebagai konsumen, asal tidak punya pantangan. Tapi tidak semua orang bisa bertindak sebagai juru masak, meracik bahan-bahan dan bumbu, kecuali ia sudah terlatih atau ahli.
Kalau orang awam yang tidak punya ilmu tata boga tiba-tiba masak, alih-alih bukannya enak dan bisa memanjakan lidah konsumen, bisa jadi malah bikin sakit perut dan timbulkan keracunan.
Selain Al-Qur’an dan Hadis, ada pula Ijmak dan Qiyas. Mayoritas ulama menerima keduanya sebagai dalil yang bisa dipakai dalam berijtihad. Bahkan, ada yang menempatkan Ijmak lebih tinggi daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah kaitannya sebagai petunjuk. Kok bisa?
Argumentasinya, sebab Ijmak itu konsensus ulama yang bersandar pada Al-Qur’an dan Hadis yang sudah jelas dan pasti validitas dan penunjukan maknanya. Selain itu, ada hadis Nabi yang intinya menyatakan bahwa tidak mungkin ummat Nabi Muhammad bersepakat dalam kesesatan.
Hanya saja, ternyata masih ada sebagian kecil yang menolak Ijmak, sebagaimana disebutkan dalam satu buku Ushul Fiqih, dengan dalih sulitnya (kalau tidak mengatakan mustahil) kemungkinan terjadi Ijmak atau konsensus. Apa lagi jika yang dimaksud itu Ijmak sukuti.
Terkait dengan Qiyas¹, mayoritas ulama sepakat ia dijadikan argumentasi dalam pengambilan hukum Islam. Dalilnya adalah tanya jawab Nabi terhadap sahabat Mu’adz yang akan bertugas sebagai gubernur Yaman saat itu, “Bagaimana jika tidak ketemu petunjuknya dari Al-Quran dan As-Sunnah?”
“Aku akan berijtihad dengan pendapatku”, jawab Mu’adz. Para ulama memaknai jawaban ini dengan Qiyas. Selain itu, karena tidak semua permasalahan dibahas di Al-Qur’an dan Hadis, maka Qiyas adalah salah satu solusi menjawab persoalan baru.
Meskipun begitu, Qiyas juga ada penolaknya, khususunya dari kalangan tekstualis (Zhahiriyah), para pengikut Daud Azh Zhahiri dan juga Ibnu Hazm Al Andalusi. Alasannya, cukuplah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menggunakan akal untuk berpendapat berarti menambah-nambah syariat yang tidak disebut dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab pendapat manusia lebih dekat kepada kesalahan daripada benarnya.
Selain 4 dalil tersebut, ada beberapa dalil yang diperselisihkan, di antaranya yaitu Urf (adat), Sadd Dzariah, Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishab, Syar’u Man Qablana, Amal Ahli Madinah, dsb..
Nah, dalil-dalil tersebut menjadi sumber penggalian hukum hanyalah bagi ulama mujtahid, bukan bagi orang awam.
Maka, kalau kita orang awam yang tidak paham Al-Qur’an dan Hadis juga asbabub nuzul Al-Qur’an dan asbabul wurud Hadis, tidak menguasai piranti ijtihad dalam ilmu Ushul Fiqih, tidak paham ilmu Maqashid Syariah, dan lain sebagainya, tidak seharusnya tidak bertanya mana dalilnya. Sebab ia tidak harus tahu dalilnya.
Mengapa demikian?
Hal ini, sebagaimana kata Asy-Syathibi dalam Al-Muwafaqät, bahwa orang awam itu tidak perlu dalil. Sebab, ada atau tidak adanya dalil sama saja. Tidak berguna bagi dia. Toh gak bakalan paham juga! Mana mungkin dia bisa berijtihad, ambil kesimpulan hukum dari dalil, kalau ia tidak paham.
Maka, orang awam cukuplah ia bertaklid terhadap ulama. Sebab, kata Asy-Syathibi, bagi orang awam, ucapan ulama menempati posisi selayaknya dalil. Dasarnya adalah firman Allah Swt, “Maka, bertanyalah kalian kepada ahli zikir (ilmu) jika kalian tidak tahu.” (QS An-Nahl: 43).
Alhasil, orang awam jangan langsung memaksakan dirinya menggali hukum Islam dari Al-Qur’an dan Hadis, tapi cukup ia mencari seorang alim dan bertanya kepadanya tentang hukum sesuatu yang tidak diketahuinya, tanpa harus tanya: mana dalilnya? Wallahu a’lam.
Foot Note:
¹ Secara sederhana, Qiyas yaitu menyamakan hukum permasalahan baru yang ghairu manshush alaih (belum disinggung dalam teks Al-Qur’an dan As-sunah) dengan hukum yang sudah manshush alaih (ada teks dalilnya di dalam keduanya) sebab ada illat yang sama dalam kedua permasalahan.
Kutipan selengkapnya ada di gambar bawah ini:
Kutipan dari Al Muwafaqät karya Asy Syäthibi
Terjemahan bebasnya:
“Fatwa para mujtahid bagi orang-orang awam posisinya selayaknya dalil-dalil syariat bagi para mujtahid. Dalilnya adalah, keberadaan dalil bagi awam itu seperti tidak ada dalil. Sebab mereka tidak dapat mengambil intisari apa pun dari dalil. Memikirkan dalil dan menggali hukum dari dalil bukan ranah mereka (orang awam). Bahkan, ini sama sekali tidak boleh dilakukan oleh mereka. Sedangkan Allah ta’ala berfitman, “Maka, bertanyalah kalian kepala ahli zikir (ulama), jika kalian tidak tahu.”
Sementara (orang awam) yang muqallid itu bukanlah orang alim, maka tidak sah baginya kecuali bertanya kepada seorang ahli zikir (ulama). Merekalah (ulama) referensi bagi awam dalam urusan agama secara mutlak. Dengan demikian, mereka itu (ulama) menempati selayaknya syariat (bagi orang awam), dan ucapan mereka menempati selayaknya syariat.” Kutipan selesai.
sumber link
0 Komentar