Muktamar Nahdlatul ulama ke-6 di Pekalongan pada 12 Robiul akhir 1350 H / 27 Agustus 1931 M menjelaskan, bahwa keberadaan Thoriqoh sebagai jalan untuk wushul Kepada Allah tidak hanya terpaku pada satu metode saja, tetapi ada banyak cara yang dapat ditempuh sebagai jalan untuk wushul Kepada Allah, diantaranya adalah sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama salaf terdahulu, yaitu dengan menjadikan thoriqoh ta'lim wa taallum sebagai jalan Wushulnya, bahkan menurut referensi utama keputusan tersebut, yakni kitab Salalimul fudhola' karya Syaikh Nawawi al-Bantani, bahwa seorang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, kemudian mengajarkannya tak ubahnya bagaikan matahari yang menyinari dan bagaikan minyak wangi yang menebarkan keharuman disekelilingnya
قال الامام الغزالي رضي الله عنه: من علم وعمل وعلّم فهو الذي يدعى عظيما في ملكوت السموات فإنه كالشمس تضيئ لغيرها وهي مضيئة في نفسها وكالمسك الذي يطيب غيره وهو طيب، ومهما اشتغل بالتعليم فقد تقلد أمرا عظيما جسيما فليحفظ آدابه اه
Menurut Syaikhina KH. Muhammad Najih Maimoen ketika Daurah ilmiyyah pada kamis 25 Jumadil awal 1443 H / 30 Desember 2021 M di Ma'had Aly Iqnaut Tholibin Sarang menyampaikan, bahwa diantara yang menjadikan Thoriqoh ta'lim wa taallum (belajar dan mengajar) sebagai jalan Wushul kepada Allah adalah pondok pesantren Sarang Rembang
" Perlu diketahui, Sarang itu sing masyhur
Thoriqohe ngaji, Mbah Moen piyambak
sing ngendiko seperti itu.."
Beliau kemudian menyebutkan contoh, bahwa diantara Masyayikh Sarang yang tekun dengan Thoriqoh ini adalah kakeknya, yaitu KH. Abdurrahim Ahmad (Mbah Him), yang mana kitab yang mana diantara Kitab yang paling disukai dan kemudian diistiqomahkan semasa hidup KH. Abdurrahim Ahmad adalah kitab Fathul Qarib karya dari Syaikh Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Qosim al-Ghozzi (w: 918)
" Mbah Him Toriqohe iku Fathul Qarib,
mulane kudu dilestarikan, Ojo Nganti
ilang.." Jelas Syaikhina Najih
Apa yang dijelaskan Syaikhina Muhammad Najih tentang kakeknya itu, sudah sangat sesuai dengan keputusan muktamar Nahdlatul ulama ke-6 diatas, bahkan KH. Ahmad bin Abbas (Banyuwangi) dalam kitabnya "al-Ahkam fi al-Aqwal al-ulama' al-a'lam" menyebutkan secara jelas, bahwa belajar dan mengajar Fathul Qarib adalah merupakan bagian dari Thoriqoh yg mu'tabarah (diakui)
غٓلاغكٓغاكٓنْ مهوس قرآن اُتَوِي مَهوْسْ دَلَائلُ الْخَيْرات اُتوِيْ غٓلاغكٓغاكٓنْ مُوْلَاغ فَتْحُ القَرِيْب - كِفَايَةُ العَوَامْ لَانْ سَاءْ فَنُوغكالاني فُونٌيكا اُوكي كَلبٓت كولوغاني طريقة معتبرة، أخذا مما في الجزء الأول من أحكام الفقهاء ص: ٧٥
Sebagaimana maklum, bahwa Kitab Fathul Qarib merupakan Syarah dari kitab al-Taqrib karya Syaikh Ahmad bin Al-Husain Al-Ashfihani atau yang populer disebut dengan Qodli Abu syuja' (w: 593 H), yang mana menurut penjelasan Syaikhina Maimoen Zubair saat Haul KH. Munawwar ke 33 pada Rabu 26 Syawal 1425 H / 8 Desember 2004 M, bahwa Abu syuja' adalah seorang ulama' mantan wazir (menteri) Dinasti Bani Saljuk dan juga menjadi Qadli (Hakim agama) di Basrah sampai usia 60 tahun, kemudian sisa 100 tahun usianya beliau memilih mengasingkan diri dan berkhidmah di Masjid Nabawi dan Hujrah Syarifah (makam Nabi), ia menjadi tukang sapu, menghamparkan tikar & menyalakan lampu
" Umur 60 tahun Abu Syuja' berkecimpung
Dados Qodli, bakdo niku 100 tahun siso
Sugenge diguna'ake kangge tirakat.
Dados Sakba'dane Abu Syuja' ngarang
Taqrib, lajeng piyambak'e nirakati kitab'e.."
Syaikhina Maimoen kemudian menjelaskan, bahwa kitab Taqrib merupakan karya yang sederhana dari Abu Syuja', bahkan didalam kitab tersebut ditemukan banyak sekali hal-hal yang tidak disetujui dan ditentang oleh banyak ulama spt memasukkan niat khuruj minas solat sebagai bagian dari rukun sholat
" Karangane Abu Syuja' niku sederhana
Ora muluk-muluk, bahkan ingdalem
karangane niku katah hal-hal ingkang
mboten disetujui banyak ulama'.."
Namun meski demikian, lanjut Syaikhina Maimoen, bahwa kitab Taqrib Abu Syuja' tersebut Merupakan pokok & tanda dari keulama'an yg menjadikannya tidak akan berubah sampai hari kiamat, hal ini berbeda halnya dg kitab² lain yg pasti dirubah sebagrmana kitab imam Ghazali yang merupakan hasil gubahan dari karangan imam Haromain kemudian dirubah Imam Rofi'i menjadi kitab Muharror, yang selanjutnya dirubah Imam Nawawi menjadi kitab Minhajut Tholibin dan karangan Imam Nawawi tersebut dirubah Syaikh Zakaria al-Anshori menjadi Manhajut Thullab
" Karangane Abu Syuja' gak Ono sing wani ngrubah Sampek kiamat, masio disyarahi, dihasyiyahi Iko Iki. Mulane kapan entek'e Kiai iku nak wes kitab Taqrib ora diwoco.."
Walhasil, sekiranya Mbah Him tidak punya keramat selain dikenal sebage seorang Alim yang mengajar Fathul Qarib, maka itu sudah lebih dari cukup, sebab selain apa yg beliau ajarkan sudah sedemikian keramat, ajaran beliau yg kemudian disebarkan murid²nya ke pelosok² desa Itu lebih bermanfaat dan Justru menjadikan Syariat Islam tetap berjalan.
Teruntuk KH. Abdurrahim Ahmad alfatihah..
0 Komentar