Bila kita belajar ushul fiqh, kita akan menemukan bahwa sekilas ia hanyalah kumpulan ilmu-ilmu lain secara terpisah seperti nahwu, bahasa, kalam, dan hadis.
Ia mirip seperti kompilasi dari berbagai ilmu lain: potongan nahwu diambil untuk menjelaskan makna huruf, serpihan kalam untuk menjelaskan hasan-qabih, nukilan ilmu bahasa untuk membahas amar dan nahi, dan irisan ilmu hadis untuk memahami hadis.
Misal:
- pembahasan huruf dan istisna' adalah pembahasan ilmu nahwu.
- pembahasan hasan qabih adalah pembahasan ilmu kalam.
- pembahasan tentang makna amar, nahi, umum, khusus, mutlaq, muqayyad dll adalah pembahasan ilmu lugat.
- pembahasan tentang hadis adalah pembahasan ilmu hadis.
- dll.
Pertanyaan besar adalah: jika semua itu sudah kita pelajari secara terpisah, lalu apa yang tersisa dari Ushul Fiqh? apakah benar Ushul Fiqh sekadar kumpulan, atau sebenarnya menyajikan sesuatu yang tak bisa digantikan oleh ilmu-ilmu lain?
Jawabannya, merujuk pada jawaban at-Taju Subki, adalah bahwa Ushul Fiqh bukanlah kompilasi serpihan. Ia membangun metodologi, kerangka berpikir, dan pendekatan yang sangat berbeda dalam menganalisis teks dan memahami makna, serta membangun pendekatan dan penggalian yang lebih mendalam dan khas terhadap bahasa Arab serta ma'ani-nya.
Ibnu Subki berkata:
...فإن الأصوليين دققوا في فَهْم أشياء من كلام العرب لم يصل إليها النحاة ولا اللغويون، فإن كلام العرب متسع جداً، والنظر فيه متشعب، فكتب اللغة تضبط الألفاظ ومعانيها الظاهرة، دون المعاني الدقيقة التي تحتاج إلى نظر الأصولي، واستقراء زائد على استقراء اللغوي.
Artinya: Sesungguhnya Ushuly meneliti secara mendalam hal-hal dari ucapan (bahasa) orang Arab yang tidak bisa dijangkau oleh para ahli nahwu maupun ahli lugat. Sebab, bahasa Arab itu sangat luas dan pembahasannya begitu bercabang. Kitab-kitab bahasa hanya menganalisa pada lafaz dan makna-makna lahiriah saja, berbeda dengan Ushuly yang menyentuh makna-makna yang mendalam dan telaah yang lebih jauh daripada ahli bahasa.
Misalnya terkait dengan ilmu nahwu dan lugat, para ushuly tidak berhenti pada aspek permukaan. Mereka mengajukan konsep yang sama sekali tidak diajukan oleh ahli nahwu dan lugat
Sebagai contoh sederhana, para ushuliyyun telah meneliti hal-hal yang tidak disentuh sama sekali oleh para ahli nahwu dan lughah. Seperti apakah term "افعل" bermakna wajib? Apakah "لا تفعل" berarti haram? Apakah "كل" menunjukkan makna umum? Dll. Ini adalah aspek yang tidak dikaji dalam disiplin ilmu lain. Hanya ada di Ushul fiqh.
Inilah yang membuat Ushul Fiqh berdiri tegak sebagai ilmu yang utuh. Ia tidak menumpang pada keilmuan lain, melainkan merumuskan jalannya sendiri. Meminjam, ya.
Ilmu-ilmu seperti nahwu, lughah, kalam, dan hadis bisa kita ibaratkan seperti benang-benang dengan warna dan tekstur yang kaya yang masing-masing menyumbang kekuatan dan keindahan. Ushul Fiqh adalah pakaian: ia menjahit, dan merangkai benang-benang itu menjadi bentuk yang utuh, terpakai, dan bermakna (baca: dipakai untuk menjalankan syariat). Tanpa benang, pakaian tak akan lahir; tapi tanpa rancangan dan jahitan, benang hanya akan jadi gulungan tak terpakai.
Maka, anggapan bahwa Ushul Fiqh hanyalah kumpulan potongan-potongan ilmu lain adalah anggapan yang terlalu tergesa. Ia bukan sekadar kumpulan ilmu, lebih dari itu. Ia adalah kumpulan ilmu sekaligus metode mengembangkan ilmu lain untuk menghasilkan manfaat yang lebih luas.
Ia memang mengambil dari banyak cabang ilmu, tetapi objek kajian intinya adalah perkara-perkara yang tidak akan kita temukan di ilmu lain. Hanya ada pada dirinya.
Dirangkum dari kitab al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj.


0 Komentar