Selama ini saya memahami, bahwa jawaban persoalan hukum dari seorang kyai yang faqih (pakar hukum syariat Islam) atau jawaban mufti atau keputusan bahtsul masail (BM) harus mengacu kepada pendapat muktamad (pendapat kuat dalam satu mazhab), tidak boleh dengan pendapat non muktamad, kecuali untuk irsyad, yakni penjelasan adanya pendapat lain yang lemah dan boleh diikuti secara pribadi sebagai solusi jika tidak mampu atau keberatan mengamalkan pendapat muktamad. Klaim tersebut hadir karena memahami secara kurang komprehensif terhadap teks-teks kitab ulama' yang sejujurnya masih relatif ringkas dan kurang detail. Sempat musykil juga, sebab banyak kyai alim yang kadang juga tidak tahu mana pendapat muktamad dan yang tidak muktamad dalam madzhab Syafi'i misalnya, tapi mereka jadi rujukan hukum masyarakat luas.
Dari kitab "Al-Ifta' bil Qaul al-Dhaif fi al-Madzhab al-Syafi'i" saya menemukan jawaban untuk masalah diatas dengan lebih detail, rinci atau komprehensif. Menurut Syaikh Muhammad al-Sayyid al-Sa'dani, pengarangnya yang juga anggota Lajnah Fatwa Darul Ifta' Mesir, berfatwa atau menjawab satu hukum fikih apakah harus menggunakan pendapat muktamad atau tidak dapat diperinci sebagai berikut:
1. Jika dia seorang mufti dan semasa pengangkatan ada klausul atau syarat mufti harus berfatwa dengan pendapat muktamad dalam madzhab tertentu, maka haram bagi dia berfatwa dengan pendapat non muktamad, kecuali sekedar irsyad (sebagaimana diatas).
2. Jika dia seorang mufti yang diangkat untuk berfatwa dengan madzhab tertentu atau penanya menanyakan jawaban dalam madzhab tertentu, maka haram bagi dia berfatwa dengan pendapat non muktamad, kecuali sekedar irsyad.
3. Jika ia seorang faqih, termasuk jawaban dalam bahtsul masail, dan penanya bertanya hukum dalam madzhab tertentu, misal madzhab Syafi'i, maka faqih atau majlis bahtsul masail tidak boleh menjawab dengan pendapat non muktamad, kecuali sekedar irsyad.
Jika kondisinya tidak seperti diatas, karena secara realitas di lapangan, masyarakat awam bertanya kepada orang alim adalah untuk mendapatkan jawaban bahwa apa yang dia lakukan atau akan lakukan, baik ibadah atau muamalah, adalah sah secara hukum Islam dan sudah menggugurkan tanggungan akhirat, tanpa harus tahu pendapat siapa, maka mufti atau faqih diatas boleh menjawab dengan pendapat muktamad atau non muktamad asalkan jawaban tersebut masih kategori pendapat muktabar, khususnya dalam lingkungan madzhab empat. Disebut muktabar sebab memiliki landasan hukum (mudrak) yang dapat diperhitungkan. Bahkan, dalam analisis saya pribadi, misal mufti atau faqih diatas menjawab dengan jawaban madzhab lain pun juga diperbolehkan asalkan tahu pasti nisbat pendapat dan syarat atau ketentuan yang berlaku dalam madzhab tersebut.
0 Komentar