Masāfatul Qashr Menurut Ulama Indonesia


Salah satu bentuk kemudahan (rukhshah) dalam syariat Islam adalah diperbolehkannya meringkas (qashar) salat empat rakaat menjadi dua rakaat ketika sedang dalam perjalanan (safar). Namun, Al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad ﷺ tidak secara eksplisit menyebutkan berapa jarak yang membolehkan seseorang melakukan qashar (Masāfatul qashr) safar. Karena itulah, para ulama berijtihad untuk menetapkan batas jarak tersebut, demi menjaga konsistensi hukum dan memudahkan umat dalam mengamalkannya. Menurut Sayyid Abi bakar Syatho dalam kitabnya "I'anah Al-Tholibin", bahwa Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar dulu Melakukan qoshor sholat dan berbuka puasa pada perjalanan jarak 4 barid

وذلك لأن ابني عمر وعباس رضي الله عنهم كانا يقصران ويفطران في أربعة برد ولا يعرف مخالف لهما

Bila perjalanan tersebut diukur dengan waktu, maka dihitung perjalanan dua hari atau dua malam atau sehari semalam dengan mengendarai unta yang diberi muatan. Sebab Disamping mempertimbangkan waktu untuk makan, minum, sholat dan istirahat, juga memandang, bahwa Unta yang diberi muatan dalam sehari bisa menempuh delapan farsakh, dengan istirahat setiap satu farsakh 

وأما تحديدها بالزمان فهو سير يومين معتدلين أو ليلتين معتدلتين أو يوم وليلة وإن لم يعتدلا بسير الأثقال وهي الإبل المحملة مع اعتبار النزول المعتاد للأكل والشرب والصلاة والاستراحة

Syaikh Syamsudin Abi Abdillah Muhammad bin Qosim al-Ghozzi dalam “Fathul Qarib” menjelaskan, bahwa 1 barid (1 pos) mempunyai hitungan = 4 farsakh. Sehingga jarak diperbolehkannya sholat qoshor adalah 16 farsakh. 1 farsakh mempunyai hitungan = 3 Mil Hasyimi, jadi jumlahnya ada 48 Mil. Satu Mil Hasyimi mempunyai hitungan = 3000 langkah kaki, sementara satu langkah kaki mempunyai hitungan = 3 telapak kaki

ان تكون مسافته ستة عشر فرسخا تحديدا في الاصح ولا تحسب مدة الرجوع منها، والفرسخ ثلاثة اميال وحينئذ في فمجموع الفراسخ ثمانية و أربعون ميلا، والميل أربعة آلاف خطوة، والخطوة ثلاثة أقدام، والمراد بالاميال الهاشمية

Kemudian sebagai negara yang menggunakan sistem metrik (sistem yang mengukur jarak dalam kilometer, bukan sistem imperial, Para ulama' di Nusantara lalu mengkonversikan jumlah tersebut dalam hitungan kilometer, menurut Syaikhina KH. Maimoen Zubair (Sarang) sebagaimana dimuat oleh Kiai Fakhrurrozi dalam kitabnya “Faidhur Rahmani fi Tsabat Maimuny”, menjelaskan, bahwa 1 farsakh adalah 5 kilometer. Hal itu mengitung jarak antara Makkah dengan Tan'im, dimana Tan'im adalah miqot terdekat untuk penduduk Makkah. Oleh karenanya, Bila dihitung, maka jarak minimal diperbolehkan untuk qoshor menurutnya adalah 80 kilometer, yaitu 5 kilometer dikalikan 16 farsakh

ومنها مسافة القصر وهي ستة عشر فرسخا، وهي ثمانون كيلو مترا، اذ ما بين مكة والتنعيم فرسخ، وهو قديماً خمسة كيلو متر

Pendapat Syaikhina Maimoen itu tidak sejalan dengan pendapat salah satu gurunya sendiri, yaitu KH. Abul Fadlol (Senori) dalam kitabnya “Tafsir ayatil Ahkam”. Menurutnnya, satu mil Hasyimi itu sama dengan 4000 langkah, sementara 1 langkah normal itu sama dengan 3 telapak kaki, sedangkan ukuran telapak kaki orang dewasa umumnya 22 adalah cm. Sehingga 1 langkah sama dengan 66 cm. Maka jika dikalikan hasil jarak 1 mil itu adalah 2,64 KM, kemudian jika dikalikan lagi, jarak 1 farshakh itu sama dengan 7,92 KM. Dan Jika dikalikan 16 farsakh, maka hasilnya 126,8 KM

لمسافة القصر عند الشافعية: ستة عشر فرسخا، والفرسخ: ثلاثة أميال بالهاشمية، والميل: اربعة الاف خطوة، والخطوة: ثلاثة أقدام، وغالب القدم: اثنان وعشرون سنتي متراً، فالميل: الفان وستمائة واربعون مترا، حاصل ضرب ٦٦ سنتي متر في اربعة آلاف ، والفرسخ: سبعة آلاف متراً وتسعمائة وعشرون مترا، حاصل ضرب ٢٦٤٠ متر في ثلاثة، فمسافة القصر بكيلو متر: مائة وستة وعشرون كيلو متر وسبعمائة وعشرون مترا

Pendapat berbeda juga muncul dari KH. Ahmad Sahal Mahfudz (Kajen). Dalam kitabnya “Faidlul Hija”, beliau menggunakan acuan sebagaimana perhitungan KH. Maksum ali (Jombang) dalam kitab “fathul qodir”, bahwa perjalanan yang memperoleh dispensasi qosor jamak ialah perjalanan sehari semalam, yakni dengan hitungan Satuan = langkah kaki orang dewasa yang sehat bugar dan normal. Satu menit melangkah = 70 meter atau 0,07 km. Satu jam melangkah = 4200 meter atau 4,2 km. Masa istirahat 3 jam. Jadi perjalanan sehari semalam 24 jam - 3 jam = 21 jam. Kemudian 4200 meter dikali 21 jam = 88.200 meter atau 88,2 km, di bulatkan jadi 90 km

مسافة القصر على ما صححه في فتح القدير: ٨٩ كيلو متر و ٩٩٢٫٩٩٩ متر

Tidak hanya itu, ragam pendapat mengenai jarak qoshor dalam kilometer juga muncul dari ulama Indonesia yang lain, Seperti menurut KH. Minan Zuhri (Kudus) dalam kitabnya “Fasholatan” yang menyebut, bahwa ukuran Jarak diperbolehkan Qoshor adalah: 88, 5 KM, Kiai Ahmad Sakhowi Amin dalam kitabnya “Sabilun Najah", menyebut: 85 KM, KH. Bisri (Rembang) dalam kitabnya “Al-ibriz” menyebut: 85 KM, KH. Misbah (Bangilan) dalam kitabnya “Al-iklil” menyebut 80, 640 KM, Kiai Ahmad Fathoni Muhson dalam kitabnya “Tarjamah Durusul Fiqhiyyah” menyebut: 84 KM, Kiai Masruh bin Yahya (Rembang) dalam kitabnya “Tarjamah Taqrib ” menyebut: 80 KM, Sayyid Abdurrahman bin Saqqaf dalam kitabnya “ Durusul Fiqhiyyah”, Menyebut: 80, 64 KM, prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya “Al-fiqhul Wadlih” Menyebut: 88, 5 KM, H. Sulaiman Rasjid, dalam bukunya “fiqih Islam”, menyebut: 80, 640 KM, Drs. Moh Rifa'i dalam bukunya “Risalah tuntutan sholat” menyebut: 81 KM, dan Dra. Hj. Siti Amanah dalam buku “kumpulan tuntutan sholat” menyatakan, bahwa Ukuran Qoshor adalah: 90 KM

Walhasil, Penetapan jarak qashar oleh ulama adalah bagian dari ijtihad yang dibenarkan dalam Islam karena dalilnya bersifat umum. Dalam konteks Indonesia, penggunaan satuan kilometer bukanlah bid'ah atau penyimpangan, melainkan bentuk ta’lif (penyesuaian) dengan sistem pengukuran resmi negara untuk memudahkan umat Islam menjalankan syariat dengan tepat. Meskipun terdapat perbedaan angka dalam penetapan jarak, semuanya berangkat dari semangat untuk menjaga keabsahan ibadah sesuai dengan pemahaman fiqih masing-masing. Rata-rata ulama Indonesia mengacu pada jarak antara 80 km hingga 90 km sebagai standar masafatul qoshri. Perbedaan ini merupakan bagian dari keluasan fiqih Islam yang membuka ruang bagi ijtihad dan kontekstualisasi sesuai dengan kondisi & kebutuhan umat diberbagai tempat.

Wallahu Ta'ala a'lam bis Shawab

0 Komentar