Iman kepada qadha dan qadar
Dalam fatwa Syekh Muhammad 'Ilisy al-Maliki
(ما قولكم) في مسألة وهي أن من المعلوم أن مذهب أهل السنة الإيمان بقضاء الله وقدره خيره وشره حلوه ومره ولا يحتج بذلك وأن القدرية يحتجون بذلك مع أنه روي أن موسى - عليه الصلاة والسلام - قال لآدم - عليه الصلاة والسلام - أنت الذي كنت سببا في خروجنا من الجنة، فقال له آدم ذلك بقضاء الله تعالى وقدره فسكت موسى، وقال سيدنا محمد - عليه الصلاة والسلام - «حج آدم موسى»
Pertanyaan:
Apakah pendapat Anda mengenai masalah berikut ini:
Telah diketahui bahwa mazhab Ahlis Sunnah adalah beriman kepada qadha dan qadar Allah baik itu yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, namun qadha dan qadar ini tidak dijadikan hujjah (alasan pembenaran atas dosa atau kesalahan).
Sedangkan kaum Qadariyah justru berhujjah (beralasan) dengan hal tersebut.
Padahal telah diriwayatkan bahwa Nabi Musa ‘alaihis sholâtu wassalâm berkata kepada Nabi Adam ‘alaihis sholâtu wassalâm:
“Engkaulah yang menjadi sebab kami dikeluarkan dari surga.”
Lalu Adam menjawab:
“Hal itu terjadi karena qadha dan qadar Allah Ta‘âlâ.”
Maka Musa pun terdiam, dan Rasulullah ﷺ bersabda:
“Adam mengalahkan Musa dengan hujjah.”
وأيضا حكي أن بعض العارفين وعظ الشرف المناوي حتى أبكاه فأنشأ الشرف يقول:
يا ذا الذي آنسني وعظه ... أنسيت ما قدر في الماضي
إن الذي ساقك لي واعظا ... هو الذي صيرني عاصي
والله ما قصدي سوى قربه ... فاختار أن يعكس أغراضي
Diriwayatkan pula bahwa seorang ‘ârif pernah menasihati Al-Syaraf al-Munâwi, hingga ia menangis. Maka Al-Syaraf melantunkan syair:
Wahai engkau yang nasihatmu menenangkan hatiku,
Apakah engkau lupa apa yang telah ditakdirkan di masa lalu?
Sesungguhnya yang menggerakkanmu datang kepadaku sebagai penasihat,
Dialah yang menjadikanku orang yang bermaksiat
Demi Allah, tidak ada maksudku selain mendekat kepada-Nya,
Namun Dia memilih untuk membalikkan keinginanku
وما نسب لإبراهيم بن أدهم: اللهم لم آت الذنوب جرأة عليك ولا استخفافا بحقك ولكن جرى بذلك قلمك ونفذ به حكمك والمعذرة إليك
Dan doa yang dinisbahkan kepada Ibrahim bin Adham:
“Ya Allah, aku tidak melakukan dosa karena lancang kepada-Mu,
dan tidak pula karena meremehkan hak-Mu,
tetapi karena pena-Mu telah menulis (takdirkan) demikian,
dan hukum-Mu telah berlaku padanya
Maka aku memohon ampun kepada-Mu.”
وقال أبو العباس الحريثي: من نظر إلى الخلق بعين الشريعة مقتهم ومن نظر لهم بعين الحقيقة عذرهم،
Dan Abul Abbas al-Huraitsi berkata:
Sesiapa yang memandang makhluk dengan pandangan syariat, ia akan membenci mereka.
Dan sesiapa yang memandang mereka dengan pandangan hakikat, ia akan memaafkan mereka.
فهذه كلها توهم الاحتجاج بالقضاء والقدر فما الجواب؟
Semua ucapan ini seolah-olah mengandung makna berhujjah dengan qadha dan qadar (menjadikan takdir sebagai alasan perbuatan).
Lalu apa jawabannya (penjelasan yang benar mengenai hal ini)?
========
فأجبت بما نصه: «الحمد لله والصلاة والسلام على سيدنا محمد رسول الله معنى قولنا لا يحتج بالقضاء والقدر أنهما لا يحتج بهما في رفع الأحكام الشرعية وإسقاط التكاليف المبنية على الكسب الثابت للعبد وعندنا للعبد كسب كلف به، وهذا لا ينافي اعترافنا بالجبر باطنا وأن الله تعالى خالق لجميع أفعال العبد فمذهبنا وسط بين مذهب الجبرية والقدرية خرج من بين فرث ودم لبنا خالصا سائغا للشاربين
Aku ~Syekh Muhammad 'Ilisy محمد عليش ~ pun menjawab dengan redaksi sebagai berikut:
Alhamdulillâh, washsholâtu wassalâmu 'alâ sayyidinâ muhammadin rasûlillâh.
Makna ucapan kita bahwa “tidak boleh berhujjah dengan qadha dan qadar” adalah:
bahwa qadha dan qadar tidak boleh dijadikan alasan untuk menghapus hukum-hukum syariat dan menggugurkan taklif (beban hukum) yang didasarkan pada usaha (kasb) yang dimiliki oleh seorang hamba. Menurut keyakinan kita (Ahlis Sunnah), seorang hamba memiliki kasb (perbuatan yang diusahakan), dan ia dibebani taklif (beban hukum) berdasar pada kasb tersebut.
Dan ini tidak bertentangan dengan pengakuan kita secara batin (hakikat) bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah Ta‘ala, termasuk semua perbuatan hamba/manusia. Sehingga mazhab kita (Ahlis Sunnah) adalah jalan tengah antara mazhab Jabariyah (yang menafikan usaha manusia sama sekali) dan mazhab Qadariyah (yang menafikan takdir Allah atas perbuatan manusia).
Ia laksana susu murni yang keluar diantara darah dan kotoran, bersih dan lezat bagi yang meminumnya.
وجواب آدم - عليه الصلاة والسلام - ليس احتجاجا لرفع تكليف وإنما هو تأديب في البرزخ لولده موسى - عليه الصلاة والسلام - بأن اللائق بالولد أن ينظر لجهة عذر والده كما أفاد ذلك شيخ مشايخنا خاتمة المحققين الأمير في حواشي الجوهرة
Sementara itu, jawaban Adam 'Alaihis Sholâtu was Salam bukanlah berhujjah (beralasan) dengan takdir untuk menolak taklif (beban hukum), melainkan merupakan bentuk ta'dib dalam alam barzakh terhadap anaknya, Musa,
yakni bahwa yang pantas bagi seorang anak adalah memandang sisi udzur (alasan yang layak) bagi ayahnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh guru para guru kami, penutup para muhaqqiq, al-Amîr, dalam Hawâsyi al-Jauharah (penjelasan atas kitab Jauharatut Tauhid).
وكلام الشرف ليس احتجاجا لرفع تكليف أيضا وإنما هو تروح.
Sedangkan perkataan al-Syarf (Syarfuddin al-Munawi), bukan pula berhujjah (beralasan) untuk menghindari taklif, namun hanyalah ekspresi menghibur diri.
وكلام ابن أدهم ليس احتجاجا لرفع تكليف أيضا إنما هو استشفاع واستعطاف كما هو ظاهر
Dan perkataan Ibn Adham bukan pula beralasan untuk menghindari taklif, melainkan permohonan syafaat dan kasih sayang kepada Allah sebagaimana tekstualnya.
وكلام أبي العباس هو عين تقرير العقيدة من أن العبد له كسب ظاهر بنيت عليه التكاليف من نظر له باعتباره حكم عليه بالحدود والتعازير وليس له تأثير في شيء ما ومن نظر له باعتباره عذره باطنا ولم يحقد عليه
Adapun perkataan Abil Abbas merupakan penegasan inti akidah Ahlus Sunnah,
bahwa seorang hamba memiliki kasb (perbuatan yang diusahakan) secara lahir,
yang menjadi dasar diberlakukannya taklif (beban hukum syariat), sesiapa yang memandang perbuatan manusia dari sisi lahir (syariat), ia akan menetapkan hukum-hukum lahiriah seperti hudud dan ta‘zir. Namun, ia tetap meyakini bahwa perbuatan itu tidak memiliki pengaruh hakiki (karena yang menciptakannya hanyalah Allah). Dan sesiapa yang memandang kepadanya dari sisi hakikat,
ia akan memaafkan secara batin dan tidak menyimpan kebencian terhadap pelakunya.
قال المحقق الأمير:
واعلم أن الإقرار بأن أفعال العباد لله أصل كبير في نفي الكبر والعجب والفخر والرياء والسمعة فإن أردت شيئا فهات من عندك شيئا ويسد أبواب مؤاخذة الناس اهـ.
Al-Muhaqqiq al-Amir berkata:
"Dan ketahuilah bahwa pengakuan bahwa semua perbuatan hamba adalah hak/milik Allah merupakan prinsip besar dalam menolak kesombongan, ujub (rasa bangga diri), kemegahan, riya, dan sum‘ah.
Jika engkau mengklaim memiliki sesuatu (dari dirimu sendiri), maka tunjukkan apa yang engkau miliki dari dirimu itu!
Maka pengakuan ini, menutup seluruh pintu kecaman terhadap sesama manusia.”
وإلى الحالة الثانية يشير قول ابن عربي عن سهل بن عبد الله إن للربوبية سرا لو ظهر لبطل حكم الربوبية.
وقال أيضا غلب علي شهود الجبر الباطني حتى نبهني تلميذي إسماعيل وقال لي لو لم يكن للعبد أمر ظاهري ما صح كونه خليفة ولا متخلقا بالأخلاق فدخل علي بكلامه من
الفرح والسرور ما لا يعلمه إلا الله تعالى.
Dan kepada "hâl" kedua (yakni: penyaksian sisi hakikat bahwa segala sesuatu adalah dari Allah semata, tanpa menafikan tanggung jawab syariat) diisyaratkan perkataan Ibnu ‘Arabi yang diriwayatkan dari Sahl bin ‘Abdillah at-Tustari, yaitu:
“Sesungguhnya pada rubûbiyyah (ketuhanan) itu ada rahasia, yang jika ia tampak (terbuka), niscaya batallah hukum rubûbiyyah itu sendiri.”
Dan beliau juga berkata:
“Penyaksian jabr (penentuan dan ketentuan mutlak Allah) secara batin telah menguasai diriku, hingga muridku, Ismail, menegurku dan ia betkata kepadaku:
‘Seandainya seorang hamba tidak memiliki urusan lahir niscaya ia tidak sah menjadi khalifah (di bumi) dan tidak pula sah untuk berakhlak dengan akhlak Ilahiah (takhalluq bi akhlâqillah).’
Lalu dari ucapannya itu masuklah rasa gembira dan kebahagiaan padaku yang hanya diketahui oleh Allah Ta‘âlâ.”
وقال المحقق الأمير عند قول الجوهرة: وميت بعمره من يقتل، وقول عبد السلام من غير مدخلية للقاتل فيه لا مباشرة ولا تولدا ما نصه:»والقصاص عندنا نظرا لظاهر الكسب كقول الفرضيين: من استعجل على شيء قبل أوانه
عوقب بحرمانه اهـ.
al-Muhaqqiq al-Amir berkata, ketika menjelaskan redaksi Jauharatut Tauhid yang berbunyi:
“Dan orang yang dibunuh, mati karena memang sudah ajalnya,”
dan juga perkataan ‘Abdus-Salâm yang berbunyi:
“Tanpa ada peran hakiki si pembunuh, baik itu secara langsung maupun tidak langsung.” Redaksinya: Qishash menurut kami berpijak pada lahirnya kasb,
sebagaimana kata para ahli hukum:
“Sesiapa yang tergesa meraih sesuatu sebelum waktunya, akan dihukum dengan kehilangan hak atasnya."
وقال أيضا وربما هجس لبعض القاصرين من أن حجة العبد لم تعذبني والكل فعلك وهذه في المعنى حجة عليه فالعذاب فعله أيضا ولا يتوجه عليه من غيره سؤال فلله الحجة البالغة والله أعلم.
Beliau juga berkata:
“Terkadang terlintas (dalam hati) sebagian orang yang lemah pemahamannya suatu pikiran: ‘Bagaimana Engkau menyiksa hamba-Mu, padahal semua perbuatan adalah perbuatan-Mu?’
Namun, sesungguhnya makna ini sendiri menjadi hujjah (argumentasi yang kontra) terhadap dirinya, bukan (hujjah yang membela) untuknya.
Sebab, siksa itu pun merupakan perbuatan Allah, dan tidak ada seorang pun yang dapat mempersoalkan Allah tentang apa yang Dia perbuat, karena Dialah Tuhan yang memiliki hujjah yang sempurna (tak terbantahkan).
Wallâhu a'lam.
0 Komentar