"Fatwa
akhir-akhir ini merupakan tren baru, bahkan sudah mirip dengan latah. Dulu,
fatwa hampir identik dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), yang memang paling
sering mengeluarkan fatwa. Fatwa yang dinilai sering tidak menjadi solusi,
melainkan malah meresahkan. Pak Jusuf Kalla waktu menjadi wakil presiden sampai
berpesan dalam pembukaan Ijtimak Komisi Fatwa MUI agar MUI jangan mengeluarkan
fatwa yang meresahkan dan menjadi ketakutan baru, melainkan menjadi solusi
(Jawa Pos, Minggu 25 Januari 2009)."
Agar tidak
terlalu memberatkan Anda, aku hanya akan nukilkan pembicaraan 'ilmiah' tentang
FATWA yang menjadi inti tulisanku tersebut. Ini:
"Fatwa
dalam istilah agama (sempitnya: fiqih) mirip dengan pengertian bahasanya, yakni
jawaban mufti terhadap masalah keberagamaan. Dulu --dan sampai sekarang di
beberapa negara Timur Tengah-- fatwa memang diminta dan diberikan oleh mufti
secara perorangan.
Dalam
kitab-kitab fiqih, mufti atau pemberi fatwa dibedakan dengan hakim. Mufti hanya
memberikan informasi kepada dan sesuai dengan pertanyaan si peminta fatwa.
Sementara itu, hakim memutuskan hukuman setelah mendengarkan berbagai pihak,
seperti penuntut, terdakwa, dan saksi-saksi.
Berbeda
dengan putusan hakim, fatwa tidak memiliki kekuatan memaksa. Ia tidak mengikat,
kecuali bagi si peminta fatwa.
Itu pun
berlaku dengan beberapa catatan. Antara lain, si peminta fatwa hanya
mendapatkan fatwa dari satu pihak atau pemberi fatwa dan fatwa yang diberikan
sesuai dengan kemantapan hatinya. Apabila ada dua pihak yang memberikan fatwa
berbeda, dia mengikuti fatwa yang sesuai dengan kata hatinya. Itu berdasar
hadis Nabi Muhammad SAW, “Istafti qalbak/nafsak wain aftaaka an-naas…” Arti
hadis tersebut, mintalah fatwa hati nuranimu meski orang-orang sudah memberimu
fatwa.
Sementara
itu, mufti yang boleh ditanya dan memberikan fatwa adalah orang yang memenuhi
kriteria tertentu. Bukan sembarang orang. Misalnya, pensiunan pegawai tinggi
Depag (kini Kementerian Agama) atau ketua umum organisasi tidak bisa dijadikan
ukuran.
Para ulama
punya pendapat berbeda mengenai rincian kriteria mufti; ada yang ketat, ada
juga yang agak longgar. Ada yang mensyaratkan mufti harus mujtahid. Ada yang
sekadar menyatakan--seperti Imam Malik--orang alim tidak seyogianya memberikan
fatwa sampai tahu bahwa orang melihatnya pantas memberikan fatwa dan dirinya
juga merasa pantas. Secara garis besar, semua menyepakati bahwa yang
diperkenankan dimintai dan memberikan fatwa hanyalah mereka yang memang ahli.
Pemberian
fatwa, menurut para ulama, juga punya etika. Misalnya, mufti tidak boleh
tergesa-gesa dalam memberikan fatwa. Ibn Qayyim, misalnya, dalam salah satu
kitabnya menyatakan, “Dulu salaf, para sahabat nabi, dan tabiin tidak suka
cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing justru mengharap fatwa diberikan
oleh selain dirinya. Apabila sudah jelas bahwa fatwa itu harus diberikan
olehnya, dia akan mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk mengetahui hukum
masalah yang dimintakan fatwa tersebut dari Al-Qur’an, sunah Rasulullah, dan
pendapat Khalifah Rasyidin.”
Menurut
Imam Ahmad Ibn Hanbal, mufti tidak boleh menjawab apa saja yang ditanyakan
kepadanya. Selain itu, orang tidak boleh mengajukan dirinya untuk memberikan
fatwa, kecuali telah memenuhi lima hal:
Pertama,
dia punya niat tulus lillahi taala, tidak mengharapkan kedudukan dan
sebagainya.
Kedua, dia
berdiri di atas ilmu, sikap lapang dada, keanggunan, dan ketenangan. Sebab,
bila tidak demikian, dia tidak bisa menjelaskan hukum-hukum agama dengan baik.
Ketiga, dia
harus kuat pada posisi dan pengetahuannya.
Keempat,
mufti harus punya kecukupan. Bila tidak, dia membuat masyarakat tidak senang.
Sebab, dia membutuhkan masyarakat dan mengambil (materi) dari tangan mereka.
Masyarakat bakal merasa dirugikan.
Kelima,
mufti harus mengenal masyarakat. Artinya, dia harus tahu tentang kejiwaan si
peminta fatwa serta mengerti benar akan pengaruh dan tersebarnya fatwa tersebut
di masyarakat.
Sebab,
intinya, fatwa adalah kemaslahatan bagi masyarakat. Maka, menurut Imam Syatibi,
mufti yang mencapai derajat puncak adalah yang membawa masyarakat ke kondisi
tengah-tengah, seperti yang dikenal masyarakat. Mufti itu tidak menempuh aliran
yang keras, tidak pula terlalu longgar."
Semoga
manfaat.
K.H.
MUSTHOFA BISRI
judul FATWA
DAN FATWA dan dimuat Jawa Pos 12 April 2010.
0 Komentar