Asy‘ariyah: Jalan Tengah Ahlus Sunnah Yang Dicemari Klaim Menyesatkan
Di tengah derasnya gelombang literasi keagamaan instan dan gerakan puritanisme palsu, banyak orang terjebak dalam opini-opini tak bersanad dan pendekatan tekstual yang kaku. Salah satu korban dari ketidakhati-hatian itu adalah Imam Abu al-Ḥasan al-Asy‘ari—seorang mujaddid besar abad ke-3 Hijriyah, yang secara historis dan metodologis menjadi tiang penyangga akidah mayoritas umat Islam hingga kini.
Kelompok yang sering disebut Wahabi atau pengusung gerakan salafi-literal, sering melontarkan tudingan bahwa Imam al-Asy‘ari belum mencapai “fase kematangan” akidah karena belum masuk pada fase tafwidh (menyerahkan makna ayat sifat kepada Allah). Mereka membagi perjalanan pemikiran Imam menjadi tiga fase: Mu‘tazilah, Ahl al-Ḥadits (bermakna tajsim), dan akhirnya tafwidh. Celakanya, mereka menyatakan bahwa Imam wafat sebelum fase terakhir ini terbentuk. Ini adalah klaim yang tidak berdasar, baik dari sisi tarikh, turats, maupun konten ilmiahnya.
Faktanya, karya akhir Imam al-Asy‘ari seperti al-Ibanah dan Maqalat al-Islamiyyin menunjukkan posisi yang seimbang antara penolakan tajsīm Mu‘tazilah dan penghindaran dari tasybih Hanbali-literal. Beliau berkata:
"وأن له وجهاً لا كالأوجه... ويداً لا كالأيدي"
"Dan bahwa Allah memiliki wajah, bukan seperti wajah; dan tangan, bukan seperti tangan."
— al-Ibanah, Imam al-Asy‘ari.
Ini adalah bentuk tafwidh makna—bukan dalam arti menafikan, tapi menyerahkan hakikatnya kepada Allah, sembari menetapkan bahwa semua sifat itu _la tuḥtamal ‘ala ẓhahiriha_ (tidak bisa dimaknai secara literal). Inilah prinsip yang kemudian dipegang oleh para ulama besar seperti Imam al-Bayhaqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Qurthubi, hingga Imam al-Suyuthi.
Lebih dari itu, kaum Wahabi yang menolak madzhab Asy‘ari sejatinya tidak punya dasar yang kuat dalam tradisi Ahlus Sunnah. Mereka menuduh tafwidh sebagai bid‘ah, padahal justru metode ini yang menyelamatkan umat dari dua jurang: tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk) dan ta‘thil (peniadaan sifat Allah). Imam al-Nawawi menegaskan:
"وأما من فوض مع تنزيه، فلا إنكار عليه، وهذا هو مذهب السلف"
"Adapun orang yang melakukan tafwidh sembari men-tanzih (menyucikan Allah), maka tidak ada pengingkaran atasnya. Dan ini adalah madzhab salaf."
— Syarh Shahih Muslim, Imam al-Nawawi.
Mengklaim bahwa Imam al-Asy‘ari belum sampai pada fase tafwidh adalah bentuk ketidaktahuan sejarah dan pengabaian terhadap puluhan murid beliau yang menukil langsung metode tafwidh darinya. Bahkan Imam al-Baqillani dan Imam al-Juwayni—dua tokoh besar penerusnya—memperjelas bahwa tafwidh adalah manhaj Asy‘ari yang sahih. Maka siapa yang menolak Imam al-Asy‘ari dan manhajnya, ia telah menolak sanad keilmuan mayoritas ulama Islam sejak abad ke-4 hingga kini.
Allah berfirman:
"وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ"
“Barangsiapa yang menyalahi Rasul setelah jelas petunjuk baginya dan mengikuti selain jalan orang-orang beriman, Kami akan biarkan ia dalam kesesatan itu…” (QS. An-Nisā’: 115)
Maka jalan orang-orang beriman (sabīl al-mu’minīn) itu tak lain adalah jalan para ulama Ahlus Sunnah: mereka yang bersambung sanadnya, lurus aqidahnya, dan adil dalam memahami nash. Akidah Asy‘ariyah bukan semata warisan, tapi sistematisasi ilmiah dari prinsip keimanan yang berpijak pada Qur’an, Sunnah, dan warisan salaf. Menolaknya, bukan sekadar menolak satu imam, tetapi menolak keseluruhan tubuh ilmu Islam.
Namun perlu dicermati bahwa banyak narasi yang berkembang dalam literatur Wahabi, terutama dalam karya-karya semisal Kitab at-Tawḥid karya Muḥammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan syarahnya oleh para pengikutnya seperti al-Fawzan dan Ibn Baz, membangun dikotomi tajam antara “tauhid” versi mereka dan bentuk tauhid yang diyakini oleh mayoritas Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Di dalamnya, keyakinan Asy‘ariyah kerap diserang sebagai “ta‘thil” atau penolakan sifat Allah, hanya karena pendekatan mereka dalam menjaga keagungan Dzat Ilahi melalui metode takwil dan tafwidh.
Yang patut dikritisi adalah metodologi pemaknaan yang terkesan tekstualis-harfiah tanpa menimbang maqashud, uslub balaghi, dan kontekstualisasi nash. Sebagai contoh, ketika Asy‘ariyah menafsirkan ayat “yadullāh fawqa aydīhim” (QS. Al-Fath: 10) sebagai isyarat kekuasaan (qudrah), Wahabi menuduhnya sebagai bentuk penolakan sifat. Padahal, tafsir seperti ini sejalan dengan metode para salaf dan telah diabadikan oleh para imam besar seperti Imam al-Bayḥaqi, Imam al-Qurthubi, dan bahkan Imam Ibn Rajab al-Ḥanbali dalam beberapa komentarnya.
Lebih lanjut, dalam kitab al-‘Aqidah al-Wasithiyyah karya Ibn Taymiyyah yang menjadi rujukan utama Wahabi, terdapat kontradiksi dalam memahami pendekatan salaf. Ibn Taymiyyah sendiri mengakui dalam Majmu‘ Fatawa:
"السلف يعلمون أن هذه النصوص حق على ظاهرها، ولا يفسرونها بما يخرجها عن ظاهرها، ولا يجعلون ظاهرها مما يوهم التشبيه."
“Salaf mengetahui bahwa nash-nash ini benar secara zahirnya, namun tidak menafsirkannya dengan makna yang mengarah kepada penyerupaan (tasybih).”
Pernyataan ini justru mendekati posisi Asy‘ariyah dalam tahap terakhir: tafwidh, yaitu menyerahkan makna hakikinya kepada Allah tanpa menetapkan makna lahiriah yang menyerupai makhluk. Maka, tuduhan bahwa Imam Abu al-Ḥasan al-Asy‘ari tidak sampai pada “tahap tafwidh” adalah tidak berdasar. Bahkan dalam karyanya al-Ibanah, Imam Asy‘ari menyatakan sikap yang sangat dekat dengan posisi salaf dalam menerima sifat Allah tanpa tasybih maupun ta‘thil.
Dalam menghadapi klaim sepihak tersebut, umat perlu kembali kepada literatur otoritatif turats Islami yang mencerminkan spektrum ijtihad dan kedalaman pemahaman, bukan sekadar slogan tauhid atau pengkafiran yang sembrono. Keberadaan akidah Asy‘ariyah sebagai arus utama kalam Ahlus Sunnah selama berabad-abad bukanlah kebetulan sejarah, melainkan buah dari kematangan manhaj ilmiah dan keberanian dalam menghadapi arus ekstremisme tekstual yang minim maqashid dan rasionalitas.
Ahlusunnah di Antara Tafwidh, Tajsim, Tasybih dan Ta'thil.
#TalaqqiKutubTuratsMenjagaWarisanUlama
#MembongkarKesesatanWahabi
0 Komentar