Fikih Sosial dan Sains

Sebagai produk hukum, fikih bukanlah suatu sistem normatif yang bersifat final, kaku, dan tak tersentuh waktu. Memang, terdapat ketentuan-ketentuan tertentu dalam fikih yang diyakini tidak berubah sejak pertama kali disyariatkan hingga hari kiamat, terutama dalam perkara ibadah mahdhah. Namun demikian, dalam dimensi muamalah dan kehidupan sosial kemasyarakatan, fikih selalu menuntut keterbukaan terhadap konteks sosial yang senantiasa bergerak. Para fuqaha, dari masa ke masa, ditantang untuk tidak hanya menggali hukum dari teks, tetapi juga mengkontekstualkan makna teks dalam lanskap sosial, budaya, dan teknologi yang terus berkembang.

Fikih adalah pengejawantahan dari syariat Islam secara lebih teknis dan operasional. Ia merupakan sistem hukum yang merinci maqāṣid asy-syarī‘ah (tujuan-tujuan luhur syariat), melalui metodologi penggalian hukum (istimbāṭ) berbasis teks suci (al-Qur’an dan Hadis), analogi (qiyās), serta prinsip-prinsip maslahat, istihsān, dan sebagainya. Dalam kerangka ini, fikih bukan hanya berbicara soal ketaatan, tetapi juga soal keadilan dan kemaslahatan.

Dalam sejarahnya, para fuqaha berusaha menelisik ‘illat (sebab hukum) dari suatu ketentuan, lalu menyesuaikannya dengan realitas sosial masyarakat tempat hukum itu diterapkan. Dari sinilah muncul perbedaan antara ‘illat al-ḥukm yang lebih sempit dan kasuistik, dengan maqāṣid asy-syarī‘ah yang lebih luas dan filosofis. Maka, fikih yang baik bukanlah yang hanya mengulang teks, melainkan yang mampu menyambungkan antara normativitas teks dan demand konteks.

Jika hukum fikih adalah pengejawantahan dari syariat secara umum, maka hukum tersebut selalu terkait (baik eksplisit maupun implisit, baik langsung maupun tidak langsung) dengan tujuan-tujuan syariat. Dalam studi ‘Maqashid as-Syariah’, tujuan-tujuan itu bertumpu pada lima penjagaan: (1) jiwa, (2) agama, (3) akal, (4) harta, dan (5) keturunan. Kelima penjagaan ini dalam praktiknya selalu terkait dengan perkembangan zaman. Perkembangan itu mencakup sosisl, budaya, tatanan hidup, teknologi, dst. Dengan demikian, syariat selalu harus beriringan dengan perkembangan zaman. Dan, untuk mewujudkan keberiringan tersebut, syariat (atau agama secara umum, dan fikih secara khusus) harus membuka diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan atau sains.

Dalam buku ‘Nuansa Fiqh Sosial’, guru saya, KH. MA. Sahal Mahfudh, menulis dalam makalah berjudul ‘Pesantren dan Pengembangan Sains’ bahwa ilmu pengetahuan (sains) menempati posisi yang cukup sentral dalam struktur kehidupan manusia. Dengan sains “etika, tata hidup, dan pola bermasyarakat akan terjaga”. Dengan sains pula, “kebutuhan hidup terpenuhi, dengan berfungsinya potensi-potensi alam menjadi pendukung bagi langkah maju manusia”. Jika fikih menghukumi tindakan manusia, maka detik ini pun fikih tidak bisa menutup diri dari perkembangan dan pengembangan sains.

Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, perkembangan sains dipengaruhi oleh lima faktor berikut:

1. Ekonomi
Aspek ekonomi sangat mempengaruhi kemajuan sains, karena aktivitas ilmiah membutuhkan pendanaan—baik untuk riset, laboratorium, publikasi, maupun pelatihan sumber daya manusia. Negara atau institusi dengan ekonomi yang kuat cenderung memiliki kapasitas lebih besar dalam mengembangkan sains. Sebagai contoh, negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman mampu mendanai riset-riset teknologi tinggi karena dukungan anggaran yang besar. Sebaliknya, keterbatasan ekonomi di banyak negara berkembang sering menjadi penghambat utama perkembangan riset ilmiah.

2. Sosial
Kondisi sosial suatu masyarakat—seperti stabilitas politik, struktur kelas sosial, dan relasi kuasa—berpengaruh terhadap bagaimana sains berkembang. Dalam masyarakat yang terbuka dan demokratis, sains lebih bebas berkembang karena ada ruang untuk kebebasan berpikir, diskusi terbuka, dan pertukaran gagasan. Sebaliknya, dalam masyarakat represif atau yang didominasi oleh dogma tertentu, perkembangan sains seringkali terhambat karena peneliti bisa mengalami sensor atau bahkan represi.

3. Budaya
Budaya mempengaruhi cara suatu masyarakat memandang ilmu pengetahuan. Budaya yang menempatkan rasionalitas, eksperimen, dan pemikiran kritis sebagai nilai penting akan lebih mendorong perkembangan sains. Sebagai contoh, semangat Renaissance dan Pencerahan di Eropa mendorong lahirnya revolusi ilmiah karena budaya berpikir kritis dan otonomi intelektual sangat dijunjung tinggi. Di sisi lain, budaya yang lebih menekankan tradisi dan kepatuhan terhadap otoritas bisa memperlambat laju perubahan ilmiah.

4. Apresiasi Intelektual Masyarakat
Sains akan tumbuh subur jika masyarakat secara umum memiliki penghargaan terhadap ilmu dan pengetahuan. Apresiasi ini bisa terlihat dalam bentuk dukungan terhadap ilmuwan, minat membaca, diskusi ilmiah publik, dan sikap terbuka terhadap temuan baru. Tanpa apresiasi ini, hasil riset bisa saja diabaikan, tidak dimanfaatkan, atau bahkan dicurigai. Masyarakat yang menghargai prestasi intelektual cenderung menciptakan iklim kondusif bagi inovasi.

5. Lembaga Pendidikan
Institusi pendidikan—terutama perguruan tinggi dan lembaga riset—adalah pilar utama perkembangan sains. Di sinilah generasi baru ilmuwan dibentuk, riset dilakukan, dan pengetahuan dikembangkan serta disebarluaskan. Mutu pendidikan, kurikulum yang mendorong berpikir kritis dan riset, serta kolaborasi antara akademisi dan industri sangat menentukan kecepatan dan kualitas perkembangan ilmu pengetahuan. Jika lembaga pendidikan stagnan, maka perkembangan sains juga ikut terhambat.

Lima faktor ini harus berjalan beriringan, membentuk suatu ekosistem yang mendukung pertumbuhan sains secara integral. Jika salah satu saja pincang—misalnya pendidikan berjalan tanpa dukungan ekonomi, atau budaya terbuka tidak diimbangi oleh apresiasi intelektual—maka perkembangan sains akan mengalami hambatan struktural. Dalam konteks ini, tugas kaum cendekia, intelektual Muslim, dan para fukoha (ahli fikih) adalah bukan hanya membuka diri terhadap sains, tetapi juga turut serta dalam merawat lima faktor ini agar tetap sehat dan berfungsi secara sinergis.

Fikih yang terbuka terhadap sains bukan berarti melepaskan pijakan pada teks suci, melainkan justru menggali secara lebih mendalam makna dan tujuan dari teks tersebut dalam konteks zaman yang senantiasa berubah. Dalam pandangan ini, sains bukanlah ancaman bagi otoritas agama, melainkan mitra epistemologis yang dapat memperjelas ‘illat maupun maqashid dari setiap ketetapan hukum.

Kita tidak bisa membangun fikih sosial yang tanggap zaman tanpa keberanian epistemik untuk berdialog dengan ilmu pengetahuan. Begitu pula, sains yang tidak disertai dengan etika dan visi kemanusiaan (sebagaimana ditawarkan oleh maqashid as-syari’ah) bisa kehilangan arah dan jatuh ke dalam reduksionisme instrumental.

Maka, tantangan ke depan adalah membangun jembatan yang kokoh antara fikih sebagai norma hidup dan sains sebagai sarana memahami realitas. Keduanya, jika berjalan bersama, dapat menghasilkan tatanan sosial yang adil, rasional, dan bermartabat. Inilah tugas kita bersama: menghadirkan fikih yang tidak semata normatif, tetapi juga solutif—fikih yang tidak sekadar menghakimi realitas, tetapi ikut serta dalam membentuknya secara aktif dan transformatif.

Untuk menjawab tantangan itu, Islam (atau syariat secara khusus) harus ikut serta dalam menentukan standar pokok bagi perkembangan sains. Diilhami oleh kerusakan yang timbul dari pemanfaatan sains yang destruktif, Islam harus bisa mengambil sikap dengan cara menetapkan standar. KH. MA. Sahal Mahfudh menyatakan bahwa ada dua standar pokok berkenaan dengan posisi sains. Beliau berkata:

“Posisi ilmu pengetahuan dalam tatanan Islam memiliki dua standar pokok. Yaitu standar ketuhanan dan kemanusiaan. Segala penilaian terhadap ilmu pengetahuan tertentu, berada dalam skema dua standar pokok tersebut. Standar ketuhanan menyeleksi ilmu pengetahuan dengan ketentuan, sejauh mana ia mampu secara mantap dan sempurna memenuhi kebutuhan pemahaman hubungan antara manusia dengan Allah SWT., dan hubungannya dengan sesama makhluk dalam kaitannya dengan nilai keagamaan, etika, dan tata hubungan bermasyarakat.

Standar kemanusiaan menelaah kualitas ilmu pengetahuan dalam tata peradaban dan kemanusiaan, sehingga menyangkut pola komunikasi dan pola manusiawi dalam kehidupan. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa timbul dikotomi dalam kedua standar tersebut. Hanya saja skala prioritas yang berlaku, lebih menekankan pada pendalaman ilmu pengetahuan yang masuk dalam standar yang pertama, misalnya.”

Dengan demikian, fikih sosial yang berpihak pada zaman dan manusia haruslah menjadikan dua standar tersebut—ketuhanan dan kemanusiaan—sebagai fondasi etis sekaligus epistemologis dalam berinteraksi dengan sains. Standar ketuhanan memastikan bahwa setiap bentuk pengetahuan tidak mengabaikan dimensi transendental, yakni relasi makhluk dengan Sang Pencipta. Sedangkan standar kemanusiaan memastikan bahwa pengetahuan tidak mengabaikan nilai-nilai kemaslahatan sosial, keadilan, dan keberlanjutan kehidupan manusia.

Keterlibatan fikih dalam ranah sosial tidak bisa berhenti pada soal legal-formal atau pengulangan terhadap produk hukum klasik. Ia mesti bergerak menjadi wacana hidup yang berani mengintervensi problem-problem nyata masyarakat modern, seperti krisis lingkungan, ketimpangan sosial, kolonialisasi digital, kecerdasan buatan, serta tantangan bioetika dan bioteknologi. Di sinilah urgensi membangun fikih yang bukan hanya responsif, melainkan juga proaktif—fikih yang memiliki daya tawar epistemik di tengah perkembangan sains dan teknologi.

Fikih sosial tidak boleh terasing dari medan praksis. Ia harus menjadi medan pergulatan antara teks dan konteks, antara nilai dan fakta, antara ideal dan real. Dalam kerangka ini, sains bisa diposisikan sebagai perangkat untuk membaca dunia secara tajam, akurat, dan bertanggung jawab, sementara fikih menghadirkan nilai-nilai penuntun yang menimbang arah dan tujuan dari pemanfaatan sains itu sendiri.

Sebagai contoh konkret, dalam isu perubahan iklim dan krisis ekologi, fikih tidak cukup hanya dengan dalil larangan merusak alam (fasad fi al-ardh). Ia harus mampu membangun kerangka hukum yang lebih mendalam, termasuk menimbang ulang konsep kepemilikan, konsumsi, serta tanggung jawab kolektif terhadap generasi masa depan. Sains dalam hal ini menyediakan data, skenario, dan peringatan; sedangkan fikih menyediakan visi moral, orientasi etis, dan kerangka aksi kolektif.

Demikian pula dalam isu kecerdasan buatan (AI), sains telah melampaui batas-batas lama tentang agensi dan otonomi manusia. Maka, fikih tidak bisa lagi sekadar menyatakan halal-haram berdasarkan bentuk, tetapi harus masuk ke dalam perdebatan filosofis dan etis tentang makna manusia, kerja, dan otoritas. Fikih yang berani berdialog dengan sains akan memperluas horisonnya sendiri—tidak hanya sebagai hukum, tetapi juga sebagai panduan kebijaksanaan dalam dunia yang terus berubah.

Dalam keseluruhan orientasi ini, pesantren, sebagai lembaga yang selama ini menjadi pusat studi fikih, memiliki peran strategis untuk memfasilitasi dialog antara tradisi keilmuan Islam dan perkembangan sains modern. Pesantren harus membuka ruang bagi pembacaan ulang terhadap warisan turats, sekaligus mengembangkan kurikulum dan metode yang memungkinkan santri menjadi aktor perubahan di medan sosial dan intelektual kontemporer.

Dengan modal tradisi istinbath yang kaya, fikih sosial mampu menjadi medium rekonsiliasi antara nilai dan pengetahuan, antara wahyu dan realitas, antara masa lalu dan masa depan. Fikih tidak kehilangan identitasnya ketika berdialog dengan sains. Sebaliknya, justru menemukan kembali makna terdalamnya: sebagai jalan untuk menghadirkan kemaslahatan yang sejati.

FIKIH SOSIAL DAN SAINS

0 Komentar