Beda Terjemah dan Teks Asli, Bukan Hanya Soal Rasa

Cuma Bisa Terjemahan kok Banyak Gaya?

Bahwa yang terucap belum tentu dikehendaki maknanya secara lahiriyah.

Mari kita luruskan dulu. Ada "ucapan" dan ada "makna". Dua hal ini beda. Ucapan cuma masuk telinga (kalo berbentuk verbal) atau mata (kalo berbentuk tulisan), tapi makna butuh ilmu buat dipahami. Kalau soal ucapan Nabi atau Allah SWT, nggak semua bisa diartikan sesuai makna dzahirnya.

Dari dulu, ulama ngajarin kalau ada teori dalam Ushul Fiqh namanya "majaz" dan "takwil". Inti teorinya, nggak semua teks itu dzahir (menggunakan makna literal). Masalahnya, kajian ini memang rumit dan butuh banyak belajar. Tapi apa yang terjadi?

Orang-orang yang nggak paham teori ini kadang sok tahu. Cuma baca terjemahan (yang entah siapa penerjemahnya), langsung petantang-petenteng pakai dalil, merasa paling benar. Padahal, ini kayak anak SD baca buku fisika kuantum terus ngomong Einstein salah. Ya, absurd.

Monggo dipikir bareng²:

1. "وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ"
Kalau kita cuma lihat kata makir, yang artinya "penipu", apa lantas kita bilang Allah itu penipu? Jelas nggak. Ayat ini bicara soal betapa sempurnanya cara Allah menggagalkan makar orang-orang jahat, bukan soal tipu-menipu.

2. "نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ"
Kata nasiya artinya "lupa". Tapi apa Allah pelupa? Nggak mungkin. Maknanya adalah Allah meninggalkan mereka dari rahmat-Nya. Ini soal konteks, bukan harfiah.

Kedua ayat itu sedang menerapkan konsep badi' Muqabalah menurut ilmu balaghah (barang apa lagi?).

Kalau nggak ngerti, ya belajar dulu, mondok. Minimal ikuti tafsir dari Ulama' (yang mensedikasikan usianya untuk Ilmu, bukan scroll² nggak jelas). Jangan cuma nyontek terjemahan dan sok jadi ulama dadakan. Teks agama itu nggak cuma soal kata-kata; ada ilmu, konteks, dan kedalaman yang mesti dipahami. Kalau nggak, ya siap-siap aja tersesat dengan logika sendiri. 

Maaf agak ngegas. Gereget lihat orang tidak menghargai khazanah keilmuan yang sudah dibangun berabad². Ulama' buat kitab berjilid² dilanjutkan antar generasi sanad hingga berabad-abad, eh dia pakai terjemahan campur otak sendiri. 

Foto: contoh teori "takwil".

0 Komentar